Sebelumnya mengucapkan maaf bila ada salah pengucapan mohon diluruskan, karena pembahasan akan bersinggungan pada agama tertentu, dimohon tidak SARA, karena ini adalah bagian dari sejarah bangsa ini.
Tantrayana sebuah aliran atau sekte yang merupakan perkembangan dari agama Hindu-Siwa dan Buddha itu sendiri. Maka dari itu, mari kita telusuri sekilas sejarah kemunculan Tantrayana ini dimasa lalu.
Dasar-dasar paham Tantra sebenarnya telah ada di India sebelum bangsa Arya datang di India, jadi sebelum kitab Weda tercipta. Pada masa itu, di peradaban lembah Sungai Sindu, cikal-bakal paham Tantra telah terbentuk dalam praktik pemujaan oleh bangsa Dravida terhadap Dewi Ibu atau Dewi Kemakmuran. Dalam salah satu seloka lagu pujaan.
Dewi ini dilukiskan sebagai penjelmaan kekuatan (sakti) penyokong alam semesta. Timbullah paham Saktiisme, atau disebut juga Kalaisme, Kalamukha, atau Kalikas (Kapalikas), yang dianut oleh penduduk asli India tersebut. Karena pengikut sekte ini kebanyakan penduduk asli India, maka oleh bangsa Arya disebut Sudra Kapalikas.
Sedikit kita ulas tentang agama Hindu setelah bangsa Arya datang, bangsa Arya sendiri (cirinya kulit putih, badan tinggi, hidung mancung) mereka datang ke Mohenjodaro dan Harappa melalui celah Kaiber (Kaiber Pass) pada 2000-1500 SM dan mendesak bangsa Dravida (berhidung pesek, kulit gelap) dan bangsa Munda sebagai suku bangsa asli yang telah mendiami daerah tersebut. Bangsa Dravida disebut juga Anasah yang berarti berhidung pesek dan Dasa yang berarti raksasa. Bangsa Arya sendiri termasuk dalam ras Indo Jerman.
Awalnya bangsa Arya bermatapencaharian sebagai peternak kemudian setelah menetap mereka hidup bercocok tanam. Bangsa Aria merasa ras mereka yang tertinggi sehingga tidak mau bercampur dengan bangsa Dravida. Sehingga bangsa Dravida menyingkir ke selatan Pegunungan Vindhya.
Disinilah terjadi asimilasi budaya oleh bangsa Arya yang mempunyai kepercayaan untuk memuja banyak Dewa (Polytheisme), dan kepercayaan bangsa Arya tersebut berbaur dengan kepercayaan asli bangsa Dravida.
Oleh karena itu, Agama Hindu yang berkembang sebenarnya merupakan sinkretisme (percampuran) antara kebudayaan dan kepercayaan bangsa Arya dan bangsa Dravida. Selain itu, istilah Hindu diperoleh dari nama daerah asal penyebaran agama Hindu yaitu di Lembah Sungai Indus/ Sungai Shindu/ Hindustan sehingga disebut agama dan kebudayaan Hindu. Terjadi perpaduan antara budaya Arya dan Dravida yang disebut Kebudayaan Hindu (Hinduisme).
Sedangkan Tantrayana sendiri memusatkan pemujaan terhadap Devi/Dewi sebagai Ibu Bhairawa (Ibu Durga atau Kali). Sebagai sakti (istri) Dewa Siwa, kedudukan Dewi Durga ini lebih ditonjolkan daripada dewa itu sendiri.Peran Dewi Durga dalam menyelamatkan dunia dari ambang kehancuran ini disebut Kalimasada (Kali-Maha-Husada), artinya âDewi Durga adalah obat yang paling mujarabâ dalam zaman kekacauan moral, pikiran, dan perilaku pada manusia.
Pengikut Saktiisme ini tidak mengikuti sistem kasta dan Veda (Weda). Dalam menunaikan ajaran, pengikutnya melaksanakan Panca Ma yang diubah arti dan pemahamannya menjadi pemuasan nafsu, karena itu akhirnya aliran ini dikucilkan dari Veda, keluar dari Hindusme itu sendiri.
Setelah mengetahui Tantrayana itu apa sekarang kita lihat ritual atau upacaranya, yang disebut Maka Kama Pancaka atau lebih terkenal dengan Panca Ma atau Malima, sering disalahartikan. Panca Ma (Lima M) itu adalah: madya, mamsa, matsya, mudra, dan maithuna. Ajaran tersebut lebih diarahkan kepada konsep karma marga, bakti yoga, dan jnana marga.
1. Mada/Madya(kebingungan/tengah), artinya lebih kepada jalan tengah, tidak terlalu banyak atau kurang, tidak terlalu keras atau lemah, yang kemudian ditafsirkan menjadi mabuk minuman atau tidak sadar.
2. Mamsa (mam=aku, sa= pertiwi/tanah), artinya lebih kepada memadamkan nafsu dan keinginan, mematikan semua indra, yang kemudian ditafsirkan menjadi mematikan hewan, memakan daging dan meminum darah.
3. Matsya (nyaman, luwes, mengalir), artinya lebih kepada keluwesan pergerakan, merasakan empati dan simpati, tidak kaku (dalam yoga, disebut pranayama, yang bertujuan agar pikiran menjadi tenang dan mudah bermeditasi), yang kemudian ditafsirkan menjadi memakan ikan (kembung yang beracun).
4. Mudra(bayu, tekad, jiwa), adalah penjiwaan yang mendalam, penuh tekad, pelaksanaan tindakan dan pembuktian, yang kemudian ditafsrikan menjadi melakukan gerak-gerik tangan dan tarian hingga lelah.
5. Maithuna(persatuan, menghancurkan), yakni menyatukan pikiran kepada kosmis, menghancurkan pikiran, tenggelam kepada kehampaan, mencapai kebebasan pikiran, yang kemudian diartikan sebagai persetubuhan massal.
Selanjutnya, paham Tantrayana pun mempengaruhi agama Buddha, terutama aliran Mahayana. Seperti kita ketahui bahwa dalam Buddha terdapat dua aliran: Mahayana dan Hinayana yang muncul pada abad pertama Masehi.
Mazhab Mahayana menitikberatkan kepada usaha saling membantu antarpengikutnya dalam mencapai kebebasan jiwa (nirvana), sedangkan Hinayana lebih bersifat individualistis dalam mencapai nirwana. Aliran Hinayana berkembang di Sri Langka, Burma, dan Thailand, namun kemudian tak berkembang dan lebih dulu menghilang. Sementara itu, Mahayana berkembang seiring dengan pesatnya paham Tantrayana yang ikut melebur di dalamnya (disebut Tantra Vajrayana atau Tantra Mahayana).
Sebelum lebih jauh kita singgung dulu awal agama Budha berdiri yang diprakarsai dari Sidharta Gautama, kemudian setelah beliau wafat ajarannya menjadi banyak pemikiran (mahzab), lebih jelasnya ketika beliau berada di bawah sebuah pohon bodhi, ia berkaul tidak akan pernah meninggalkan posisinya sampai ia menemukan Kebenaran. Pada usia 35 tahun, ia mencapai Pencerahan. Pada saat itu ia dikenal sebagai Gautama Buddha, atau hanya "Buddha" saja, sebuah kata dalam Sanskerta yang berarti "ia yang sadar" (dari kata budh +
ta).
Untuk waktu 45 tahun selanjutnya, ia menelusuri dataran Gangga di tengah India (daerah mengalirnya sungai Gangga dan anak-anak sungainya), sembari menyebarkan ajarannya kepada sejumlah orang yang berbeda-beda.
Namun atas karena engganya sang Buddha untuk mengangkat seorang penerus atau meresmikan ajarannya mengakibatkan munculnya banyak aliran dalam waktu 400 tahun selanjutnya: pertama-tama aliran-aliran mazhab Buddha Nikaya, namun yang sekarang ada dan masih tersisa hanya Theravada, dan kemudian terbentuknya mazhab Mahayana, sebuah gerakan pan-Buddha yang didasarkan pada penerimaan kitab-kitab baru.
Sebelum lahirnya Mahayana Mazhab-mazhab tradisional menganggap Buddha adalah seorang manusia biasa yang mencapai pencerahan, yang juga bisa dicapai oleh para bhiksu yang mentaati peraturan monastik dan mempraktikkan ajaran Buddha demi mengatasi samsara dan mencapai arhat. Namun kaum Mahasanghika yang ingin memisahkan diri, menganggap ini terlalu individualistis dan egois. Mereka menganggap bahwa tujuan untuk menjadi arhat tidak cukup, dan menyatakan bahwa tujuan yang sejati adalah mencapai status Buddha penuh, dalam arti membuka jalan paham Mahayana yang kelak muncul.
Disinilah awal muncul paham Budha di nusantara yang kita kenal, akibat pengaruh Siwaisme, dalam Mahayana kemudian dikenal pendewaan atas diri Buddha dan Bodhisatwa, surga dalam artian tempat, bhaktimarga (jalan bakti), dan dewa-dewa lainnya yang patut disembah. Penyelewengan ajaran ini tentunya makin menjauhkan Buddhisme dari semangat Buddha Siddharta, karena ajaran Buddha asli tak mengenal adanya Tuhan, tak mengenal doa, tak mengenal dewa-dewa layaknya dalam Hindu. Maka dari itu, bisa di lihat di tanah lahirnya sendiri yaitu India ajaran Buddha menghilang dan kemudian lebih banyak dianut di Asia Timur dan Tenggara.
Pada abad ke-7 secara berkesinambungan Tantrayana pun menyebar ke Tibet, Cina, Korea, Jepang, hingga Indonesia (Jawa dan Sumatra). Malah, pada abad ke-7, Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat studi Mahayana di Asia Tenggara.
Mazhab Tantrayana memiliki akar pandangan yang sama dengan Mahayana, khususnya dalam hal Yogacara. Namun, Tantrayana berbeda dengan Mahayana dalam hal tujuan, wujud manusia yang telah mencapai tujuan Tantrayana, dan cara pengajarannya. Hal ini terlihat salah satunya dari pemujaan terhadap sakti Boddhisatwa dan pemujaan terhadap kekuatan gaib dari Dhyani Buddha. Ajarannya lebih bersifat esoterik karena penyebarannya bersifat rahasia dan tersembunyi. Tantra diajarkan oleh seorang guru pada siswanya setelah melalui upacara-upacara ritual dan berbagai bentuk ujian.
Ajaran Tantrayana Yang Diadopsi Di Nusantara
Tantrayana mengajarkan agar badan, perkataan, serta pikiran digiatkan oleh ritual, mantra, dan samadi.
Dalam Tantrayana Hinduâ"seperti telah dibahas di atas mengenai Panca Ma, konsep sakti Siwa mengakibatkan lahirnya kegiatan âhubungan intimâ yang dianggap âsuciâ dan membawa manusia kepada âkebebasan jiwaâ dalam upacara Tantra. Begitu pula dalam Tantrayana Buddha (Wajrayana), yang ditandai dengan adanya hubungan Dewi Tara dengan Dyani Buddha. Tantrayana menganggap bahwa penciptaan alam semesta beserta isinya dilakukan oleh Unsur Asal (dalam Buddhisme disebut Buddha, dalam Hinduisme disebut Siwa-Bhairawa) melalui hubungan intim dengan istrinya. Dalam hubungan intim, unsur jantan disebut upaya (alat mencapai kebenaran yang agung), sedangkan unsur wanita disebut prajna (kemahiran yang membebaskan). Maka timbul âpenyelewenganâ paham bahwa maithuna adalah paham kebebasan, tepatnya kebebasan untuk bersenggama antara pria dengan wanita. Mereka melakukan upacara tersebut di ksetra atau lapangan tempat membakar mayat, sebelum mayat dibakar saat gelap bulan.
Ajaran Tantrayana ini makin menyimpang dengan adanya penggunaan minuman keras oleh para pengikutnya, sebagai penyimpangan dari konsep madya/mada. Minuman keras ini dimaksudkan untuk mempercepat âpeleburan diriâ dengan Unsur Asal. Pun, mereka selalu mengutamakan makanan-makanan lezat dan mewah, sebagai penyimpangan dari konsep mamsa dan matsya, yang jelas bertentangan dengan ajaran Buddha yang menolak minuman keras dan hidup berfoya-foya.
Dalam ajarannya, Tantra pun banyak memuat âkutukanâ atau âsumpahâ. Misalnya, Prasasti Sanghyang Tapak (Cibadak) peninggalan Kerajaan Sunda/Pajajaran menyebutkan sejumlah kutukan yang lumayan mengerikan, yakni agar orang yang menyalahi ketentuan dalam prasasti tersebut diserahkan kepada kekuatan-kekuatan gaib untuk dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya, dan membelah dadanya. Di Sriwijaya, di mana aliran ini lebih dulu berkembang pada abad ke-7, terdapat sejumlah prasasti, yakni Talang Tuwo dan Kota Kapur, yang berisi kutukan dan sumpah.
Selain di Sriwijaya, aliran ini berkembang pula di Jawa. di Jawa Tengah pada abad ke-8 dalam Prasasti Kalasan tahun 778 disebutkan bahwa Rakai Panangkaran mendirikan bangunan suci, Candi Kalasan, untuk memuja Dewi Tara. Dewi Tara merupakan salah satu bentuk penyimpangan Buddha Mahayana karena dewi tersebut dianggap sebagai istri (sakti) para Dyani Buddha; padahal Buddha sendiri menilai kama (syahwat) merupakan musuh terbesar manusia.
Di Jawa Timur abad ke-10 pun keberadaan penganut Tantra telah diakui oleh Mpu Sindhok Raja Medang, pendiri Wangsa Isana. Meski Raja Sindhok penganut Siwa, ia menganugerahkan Desa Wanjang sebagai wilayah sima (yang dibebaspajakkan) kepada pujangga bernama Sambhara Suryawarana yang menyusun kitab Tantra, Sanghyang Kamahayanikan.
Contoh lain adalah raja terakhir Singasari (sebelumnya bernama Tumapel) yakni Kertanagara (1268-1292). Oleh Pararaton, ia disebut Bhatara Siwa Buddha, yang berarti ia memeluk Hindu-Siwa sekaligus Buddha. Nagarakretagama karya Mpu Prapanca menguraikan bahwa raja ini, karena telah menguasai ajaran Siwa dan Buddha, maka disebut telah terbebas dari segala dosa; bahkan pesta minuman keras adalah salah satu acara ritual agamanya. Bahkan ketika diserang tentara Kubilai Khan dari Mongol, Sang Raja tengah melakukan ritual Tantra bersama para menteri dan pendeta, dalam keadaan mabuk minuman. Sebagai penganut dua agama, ia bergelar Sri Jnanabajreswara atau Sri Jnaneswarabajra dan diarcakan sebagai Jina Mahakshobhya (kini berada di Taman Apsari, Surabaya) sebagai simbol penyatuan Siwa-Buddha; arca ini populer dengan sebutan Joko Dolog. Kertanegara dimuliakan sebagai Jina Wairocana dan di Candi Singosari sebagai Bhaiwara.
Di Kerajaan Sunda-Pajajaran pun diketahui ada sejumlah rajanya penganut Tantra, di antaranya: Sri Jayabhupati dan Raja Nilakendra (ayah Prabu Suryakancana raja terakhir Pajajaran).
Di Sunda, para penganut Tantra menjalankan ibadahnya di bangunan-bangunan megalitik.
Seperti disebutkan di atas bahwa paham Tantrayana-Hindu identik dengan paham Siwa-Bhairawa. Bhairawa (artinya hebat) ini perwujudan Siwa yang mengerikan, digambarkan ganas, memiliki taring, bertubuh besar, dan berwujud raksasa.
Bukti-bukti dari keberadaan paham Bhairawa di antaranya: arca Bhairawa Heruka di Padang Lawas, Sumatra Barat, arca Adityawarman dalam wujud Bhairawa Kalacakra pada masa Majapahit, dan arca Bhairawa Bima di Bali. Aliran Bhairawa ditenggarai memunyai tendensi politik guna untuk mendapatkan kharisma besar yang diperlukan dalam pengendalian keamanan negara. Misalnya, Kertanagara menganut Bhairawa Kalacakra untuk mengimbangi kekuatan kaisar Kubilai Khan di Cina yang menganut Bhairawa Heruka. Adityawarman menganut Bhairawa Kalacakra untuk mengimbangi raja Pagaruyung di Sumatra Barat yang menganut Bhairawa Heruka.
Arca Bhairawa ini tangannya ada yang dua, ada yang empat. Ada pun arca Adityawarman sebagai Bhairawa hanya memiliki dua tangan. Tangan kiri memegang mangkuk berisi darah manusia dan tangan kanan membawa pisau belati. Jika tangannya ada empat, maka biasanya dua tangan lainnya memegang tasbih dan gendang kecil yang bisa dikaitkan di pinggang, untuk menari di lapangan mayat damaru atau ksetra. Penggambaran Bhairawa membawa pisau konon untuk upacara ritual matsya atau mamsa. Ada pun mangkuk berfungsi untuk menampung darah untuk upacara minum darah. Sementara tangan yang satu lagi membawa tasbih. Wahana atau kendaraan Siwa dalam perwujudan Siwa Bhairawa adalah serigala, karena upacara dilakukan di lapangan mayat dan serigala merupakan hewan pemakan mayat. Sementara itu terdapat sejumlah arca tengkorak di atas kaki Bhairawa.
Keberadaan Tantrayana ini dibuktikan pula oleh peninggalan-peninggalan fisik. Di Jawa Tengah, misalnya, kita dapat melihat bukti tersebut di komplek Candi Sukuh di kaki Gunung Lawu, Dukuh Berjo, Desa Sukuh, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Berdasarkan tulisan candrasangkala di gapura teras 1 dan 2, candi ini didirikan antara tahun 1437-1456 M; jadi di era Majapahit menjelang keruntuhannya. Struktur bangunan candinya sendiri berbentuk piramidaâ"mirip peninggalan budaya Maya di Meksiko atau Inca di Peru.
Kemudian di Bali di daerah Pejeng didapatkan sebuah arca Bhaiwara. Arca itu tingginya 360 cm dengan bentuk badannya yang besar dan tegap, berdiri di atas mayat manusia. Bentuknya yang demikian menunjukkan dewa Siwa dalam keadaan marah (krodha). Arca di tempatkan pada satu bangunan yang disebut Pelinggih Bhatara Siwa Bhairawa. Bentuk arca itu serupa dengan arca Bhairawa di Singasari. Kemungkinan besar bahwa latihan-latihan Tantrayana dilakukan pula pada masa pemerintahan pegawai-pegawai kerajaan Singasari di Bali. Arca Bhairawa yang terdapat di daerah Pejeng itu disimpan di daerah Pura Kebo Edan. Sebutan Siwa Bhairawa oleh penduduk di sekitar pura itu menunjukkan bahwa arca itu adalah sebuah arca yang dibuat oleh para penganut Tantrayana untuk kepentingan upacara-upacara kepercayaan.
Selain arca Siwa Bhairawa tersebut di atas, di halaman pura Kebo Edan terdapat pula arca-arca raksasa. Satu arca itu ditempatkan pada satu bangunan kecil di muka sebelah kanan arca Siwa Bhairawa, sedangkan satu lagi ditempatkan pada satu bangunan di sebut Pelinggih Bhatara Kebo Edan. Kedua arca raksasa masing-masing tangannya membawa mangkok-mangkok darah yang dihiasi dengan hiasan-hiasan tengkorak. arca-arca itu dalam sikap berdiri, roman mukanya sangat mengerikan dengan mata melotot. Demikian pula seluruh kepala dan lehernya dihiasi dengan rangkaian tengkorak, sambil mengisap darah musuhnya dari mangkok darah yang dibawanya. Telinganya menggunakan anting-anting dengan hiasan tengkorak pula. Kedua arca itu mempunyai tinggi sama yaitu 130 cm.
Dari peninggalan-peninggalan tersebut jelas sekali, yang dianut dari raja-raja nusantara adalah Mahzab Tantrayana sebagai agama kuno di negeri ini.
Namun hilangnya Tantrayana sesudah abad ke 14, tidak terdapat bukti-bukti lagi mengenai perkembangan Tantrayana. Kemungkinan bahwa setelah mengalami perkembangan yang meluas baik di Jawa, Sumatra, maupun di Bali, maka Tantrayana setelah abad 14 pun mengalami kemunduran. Sebab-sebab kemundurannya itu mungkin pula disebabkan oleh kemajuan cara berpikir manusia, dan pengaruh budaya asing yang datang setelahnya sehingga orang-orang menyadari bahwa arca-arca yang demikian atau sama sekali tidak sesuai dengan kemajuan jaman selanjutnya.
Banyak upacara-upacara Tantrayana itu yang sangat bertentangan dengan kesopanan, tata susila, kemanusiaan dan hal yang tidak pantas dilakukan oleh manusia. Belum lagi datangnya budaya dan agama baru yang menggantikan kepercayaan sebelumnya.
Demikianlah akhirnya Tantrayana itu tidak ada lagi sisa pemeluknya, khususnya baik di Bali maupun di Jawa dan Sumatra, karena saat ini ajaran Hindu dan Budha yang ada, beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
Namun dalam beberapa hal faham Tantra hingga kini masih terlihat pengaruhnya, terutama di Bali baik di bidang kesusastraan maupun seni pengaruh Tantrayana masih terlihat, seperti halnya sisa-sisa pengaruh Tantrayana yang masih terlihat sampai sekarang ialah sengguhu di Bali yang mempergunakan atribut kalachakra : sangku putih, genderang tangan dan genta (atribut menari dari Siwa Bhairawa) tergantung di atas sebuah chakra dengan sebuah pegangan atau tangkai garuda.
Semoga artikel ini bermanfaat.
"Om swastiastu..."
"Namaste"
Referensi
Kenny sanjaya.
Berbagai sumber
http://www.mantrahindu.com/sejarah-lengkap-agama-hindu/
http://wawasansejarah.com/sejarah-agama-buddha/
http://hystoryana.blogspot.co.id/2016/08/tantrayana-pernah-berkembang-luas-di.html?m=1
No comments:
Write comments