Diantara semua sektor manufaktur, industri elektronik adalah yang paling pesat perkembangannya. Permintaan yang tinggi dan umur barang yang pendek menjadikan industri elektronik sebagai salah satu penghasil sampah yang patut diwaspadai. Total produksi sampah elektronik di dunia diperkirakan mencapai 25 juta ton setiap tahunnya, dengan produsen utama negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara di Eropa. Namun demikian, China, India, dan beberapa negara Amerika latin diprediksi bakal menjadi pemain utama yang berkontribusi paling besar pada produksi sampah elektronik dunia dalam waktu 10 tahun mendatang.
Di negara-negara maju, komponen pada sampah elektronik di-pulihkan (recovered), di-daur ulang (recycled), dan di-gunakan kembali (reused). Sebelumnya, proses daur ulang sampah elektronik dinegara maju dikategorikan sebagai industri yang sangat menguntungkan karena kandungan logam mulia (emas, paladium, perak, dll) pada barang elektronik. Namun, kecenderungan alat elektronik yang semakin efisien dalam pemakaian logam mulai, penemuan material pengganti, semakin mahalnya biaya tenaga kerja di negara maju menyebabkan industri ini tidak semenarik sebelumnya. Alhasil, banyak sampah elektronik dari negara maju yang di-ekspor ke negara berkembang; China, India, termasuk juga Indonesia. Praktek ini sebenarnya melanggar Basel convention yang melarang pergerakan antar negara (transboundary movement) sampah yang dikategorikan sebagai bahan berbahaya.
Sampah elektronik dikategorikan sebagai bahan yang berbahaya, karena selain mengandung logam mulia juga mengandung logam, plastik, dan beberapa material yang beracun: timbal, cadnium, merkuri, arsenik, dll. Celakanya, ketika sampah-sampah elektronik tersebut sampai di negara berkembang, hanya sebagian kecil yang dapat di jual kembali. Sisanya akan diperlakukan layaknya sampah dengan metode pengolahan yang sangat tradisional. Sebagian besar pen-daur ulang ini hanya menggunakan alat sederhana untuk mengambil komponen yang dapat langsung dijual kembali; plastik, aluminum, besi, dll. Selain itu, mereka juga menggunakan asam kuat (cyanide), dan metode 'memasak' sampah dengan merkuri untuk mendapatkan logam-logam mulia yang sangat kecil presentasinya dalam satu sampah elektronik. Akhirnya dapat ditebak. Sisa sampah yang tidak dimanfaatkan (dan mengandung berbagai macam bahan beracun tersebut) dibuang begitu saja di tempat pembuangan. Tidak ada sama sekali pertimbangan keselamatan dan kesehatan pekerja daur ulang tradisional.
Teknologi daur ulang sampah elektronik
Standard industri daur ulang sampah elektronik menurut UNEP dibagi menjadi 3 tahap: pengumpulan (collection), pemisahan (sorting/dismantling), dan proses akhir (refining/disposal). Pada tahap awal, sampah elektronik dikumpulkan, di bongkar dan dipisahkan berdasarkan jenis komponennya masing-masing; kabel, plastik, logam, papan sirkuit, bateri, bahan berbahaya. Selanjutnya, grup-grup ini akan diproses lebih lanjut tergantung sifat materialnya. Sebagai contoh, kabel, papan sirkuit, logam akan di 'cacah' menjadi bubuk sehingga lebih mudah di daur ulang di refining facility. Sementara baterai, dan komponen yang menganduk merkuri atau material berbahaya lainnya akan dipisahkan dan diperlakukan secara khusus. Pada tahap akhir, tergantung dari jenis bubuk material yang dihasilkan pada tahap kedua, material tersebut akan diproses di tempat berbeda; besi/logam akan diproses di pabrik baja, aluminum/tembaga/logam mulia di peleburan bijih logam, dan beberapa material lain dapat digunakan untuk keperluan industri semen, jalan raya, dll.
Jika semua tahapan daur ulang ini dilakukan secara benar, maka dampak negatif sampah elektronik dapat dikurangi secara signifikan sekaligus menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi. Beberapa studi menunjukkan bahwa nilai dari satu unit sampah TV tidak kurang dari 25 USD, dan 27 USD untuk komputer. Sebagai contoh betapa sampah elektronik adalah barang yang bernilai ekonomi tinggi, satu study menunjukkan bahwa seluruh sampah handphone di Amerika Serikat pada tahun 2005 (500 juta sampah handphone) bernilai tidak kurang dari 314 juta USD.
Kebijakan Indonesia
Sayangnya, di Indonesia belum ada peraturan yang secara khusus mengatur sampah elektronik. Dalam PP Tahun 1999 yang mengatur pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3) tidak secara jelas menjelaskan konsep pengolaan sampah elektronik. Padahal, peraturan dan regulasi yang jelas dari pemerintah pusat adalah komponen penting dalam menghidupkan bisnis samah elektronik secara benar, aman, dan menguntungkan. Aturan dari pemerintah yang mendefinisikan secara jelas apa itu sampah elektronik, bahan apa saja yang dikategorikan sebagai B3 dalam sampah elektronik, bagaimana proses pengolahannya, siapa yang bertanggung jawab, siapa yang membayar biaya pengolahan, dll yang berkaitan dengan aktivitas pengolahan sampah elektronik sangatlah mendesak.
Jika pemerintah dapat melahirkan peraturan yang jelas tentang penanganan dan pengolahan sampah elektronik ini dalam waktu dekat, maka bukan mustahil bahwa industri ini bisa menjadi primadona baru bagi para teknopreneur di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga bisa menarik berbagai investor luar negeri yang sudah punya pengalaman panjang di industri ini untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Efek jangka panjangnya banyak : penciptaan lapangan kerja, peningkatan keselamatan kerja pen-daur ulang, dan berkurangnya dampak negatif sampah elektronik kepada lingkungan hidup. Kesemua komponen tersebut sangat diperlukan dalam mendukung pembangunan Indonesia yang berkelanjutan.
Jadi, mari kita tunggu setanggap apa pemerintah (KLHK) akan bereaksi melihat kebutuhan dan peluang besar yang ada saat ini.
SUMBER
Di negara-negara maju, komponen pada sampah elektronik di-pulihkan (recovered), di-daur ulang (recycled), dan di-gunakan kembali (reused). Sebelumnya, proses daur ulang sampah elektronik dinegara maju dikategorikan sebagai industri yang sangat menguntungkan karena kandungan logam mulia (emas, paladium, perak, dll) pada barang elektronik. Namun, kecenderungan alat elektronik yang semakin efisien dalam pemakaian logam mulai, penemuan material pengganti, semakin mahalnya biaya tenaga kerja di negara maju menyebabkan industri ini tidak semenarik sebelumnya. Alhasil, banyak sampah elektronik dari negara maju yang di-ekspor ke negara berkembang; China, India, termasuk juga Indonesia. Praktek ini sebenarnya melanggar Basel convention yang melarang pergerakan antar negara (transboundary movement) sampah yang dikategorikan sebagai bahan berbahaya.
Sampah elektronik dikategorikan sebagai bahan yang berbahaya, karena selain mengandung logam mulia juga mengandung logam, plastik, dan beberapa material yang beracun: timbal, cadnium, merkuri, arsenik, dll. Celakanya, ketika sampah-sampah elektronik tersebut sampai di negara berkembang, hanya sebagian kecil yang dapat di jual kembali. Sisanya akan diperlakukan layaknya sampah dengan metode pengolahan yang sangat tradisional. Sebagian besar pen-daur ulang ini hanya menggunakan alat sederhana untuk mengambil komponen yang dapat langsung dijual kembali; plastik, aluminum, besi, dll. Selain itu, mereka juga menggunakan asam kuat (cyanide), dan metode 'memasak' sampah dengan merkuri untuk mendapatkan logam-logam mulia yang sangat kecil presentasinya dalam satu sampah elektronik. Akhirnya dapat ditebak. Sisa sampah yang tidak dimanfaatkan (dan mengandung berbagai macam bahan beracun tersebut) dibuang begitu saja di tempat pembuangan. Tidak ada sama sekali pertimbangan keselamatan dan kesehatan pekerja daur ulang tradisional.
Teknologi daur ulang sampah elektronik
Standard industri daur ulang sampah elektronik menurut UNEP dibagi menjadi 3 tahap: pengumpulan (collection), pemisahan (sorting/dismantling), dan proses akhir (refining/disposal). Pada tahap awal, sampah elektronik dikumpulkan, di bongkar dan dipisahkan berdasarkan jenis komponennya masing-masing; kabel, plastik, logam, papan sirkuit, bateri, bahan berbahaya. Selanjutnya, grup-grup ini akan diproses lebih lanjut tergantung sifat materialnya. Sebagai contoh, kabel, papan sirkuit, logam akan di 'cacah' menjadi bubuk sehingga lebih mudah di daur ulang di refining facility. Sementara baterai, dan komponen yang menganduk merkuri atau material berbahaya lainnya akan dipisahkan dan diperlakukan secara khusus. Pada tahap akhir, tergantung dari jenis bubuk material yang dihasilkan pada tahap kedua, material tersebut akan diproses di tempat berbeda; besi/logam akan diproses di pabrik baja, aluminum/tembaga/logam mulia di peleburan bijih logam, dan beberapa material lain dapat digunakan untuk keperluan industri semen, jalan raya, dll.
Jika semua tahapan daur ulang ini dilakukan secara benar, maka dampak negatif sampah elektronik dapat dikurangi secara signifikan sekaligus menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi. Beberapa studi menunjukkan bahwa nilai dari satu unit sampah TV tidak kurang dari 25 USD, dan 27 USD untuk komputer. Sebagai contoh betapa sampah elektronik adalah barang yang bernilai ekonomi tinggi, satu study menunjukkan bahwa seluruh sampah handphone di Amerika Serikat pada tahun 2005 (500 juta sampah handphone) bernilai tidak kurang dari 314 juta USD.
Kebijakan Indonesia
Sayangnya, di Indonesia belum ada peraturan yang secara khusus mengatur sampah elektronik. Dalam PP Tahun 1999 yang mengatur pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3) tidak secara jelas menjelaskan konsep pengolaan sampah elektronik. Padahal, peraturan dan regulasi yang jelas dari pemerintah pusat adalah komponen penting dalam menghidupkan bisnis samah elektronik secara benar, aman, dan menguntungkan. Aturan dari pemerintah yang mendefinisikan secara jelas apa itu sampah elektronik, bahan apa saja yang dikategorikan sebagai B3 dalam sampah elektronik, bagaimana proses pengolahannya, siapa yang bertanggung jawab, siapa yang membayar biaya pengolahan, dll yang berkaitan dengan aktivitas pengolahan sampah elektronik sangatlah mendesak.
Jika pemerintah dapat melahirkan peraturan yang jelas tentang penanganan dan pengolahan sampah elektronik ini dalam waktu dekat, maka bukan mustahil bahwa industri ini bisa menjadi primadona baru bagi para teknopreneur di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga bisa menarik berbagai investor luar negeri yang sudah punya pengalaman panjang di industri ini untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Efek jangka panjangnya banyak : penciptaan lapangan kerja, peningkatan keselamatan kerja pen-daur ulang, dan berkurangnya dampak negatif sampah elektronik kepada lingkungan hidup. Kesemua komponen tersebut sangat diperlukan dalam mendukung pembangunan Indonesia yang berkelanjutan.
Jadi, mari kita tunggu setanggap apa pemerintah (KLHK) akan bereaksi melihat kebutuhan dan peluang besar yang ada saat ini.
SUMBER
No comments:
Write comments