Paradigma negatif tentang game dan esports mungkin memang jadi pekerjaan rumah besar bagi para pelaku atau pejuang esports tanah air atau bahkan di seluruh dunia. Karena itulah, ijinkan saya untuk turut berpartisipasi dalam mengikis paradigma negatif tadi dengan menawarkan perspektif saya.
Relevansi Proses Belajar sebagai Solusi Masalah
Saya mungkin adalah salah satu dari segelintir orang yang tidak percaya dengan salah satu anggapan mainstream yang mengatakan para murid dan mahasiswa itu malas belajar.
Banyak murid dan mahasiswa enggan belajar materi-materi yang diajarkan di institusi pendidikan formal karena tidak mampu menemukan relevansi yang jelas antara materi tersebut dengan ketertarikan mereka.
Maksud saya seperti ini, pelajar yang suka dengan sepak bola bahkan mungkin hapal daftar bursa transfer pemain dan daftar prestasi tim-tim kesayangan mereka. Mahasiswa yang suka bermusik, dengan senang hati, belajar bermain musik tanpa ada insentif alias bayaran.
Para jomlo pun tak pernah disuruh untuk stalking gebetan mereka di media sosial.
Dengan kata lain, kita manusia sebenarnya dengan senang hati belajar hal-hal baru asalkan jelas signifikansi dan relevansinya. Ketertarikan kita atas satu hal juga termasuk dalam signifikansi dan relevansi yang jelas itu tadi.
Esports dan game lebih mampu menjembatani antara ketertarikan kita dengan proses belajar, yang sayangnya kurang berhasil diserukan di institusi pendidikan formal.
Misalnya saja seperti ini, matematika itu sepertinya menjadi momok paling menyeramkan bagi para pelajar. Padahal matematika itu sebenarnya mampu mengasah logika yang dibutuhkan di semua bidang pekerjaan, termasuk di industri esports.
Contoh yang lebih konkrit dan spesifik misalnya, mereka-mereka yang bekerja jadi developer game butuh kemampuan berhitung yang di atas rata-rata jika ingin menyelesaikan masalah balancing (seperti soal buff dan nerf).
Rumus perhitungan damage di Dota 2 misalnya. Mereka-mereka yang takut dengan angka dapat dipastikan tak mampu menyelesaikan persoalan balancing.
Banyak teori bisnis, pemasaran, dan ilmu sosial lainnya, yang akan terlalu panjang jika dijabarkan semuanya di artikel ini, juga sebenarnya berguna untuk mereka-mereka yang bekerja di balik layar di industri esports seperti para owner, manager, ataupun orang-orang yang bertanggung jawab mengurusi media sosial sebuah organisasi esports.
Belajar public speaking juga penting bagi mereka-mereka yang ingin jadi shoutcaster. Belajar bahasa juga tak bisa disepelekan bagi mereka-mereka yang ingin berkecimpung di media esports.
Sayangnya, banyak orang yang terjun di industri terlambat menyadari hal ini karena, salah satunya, akibat ketidakjelasan yang tak mampu diurai dan dijabarkan oleh institusi pendidikan formal.
Namun, positifnya, kaum-kaum muda tidak anti dengan game dan esports sehingga masih banyak waktu untuk mengasah logika dan menabung ilmu pengetahuan setelah mereka menemukan relevansi dan signifikansi yang jelas antara pendidikan dengan esports dan game.
Antara Komitmen dan Daya Juang
Dalam dunia pendidikan dan karir, tak dapat dipungkiri, komitmen dan daya juang menjadi 2 hal paling penting yang harus dimiliki oleh tiap-tiap orang yang ingin meraih sukses.
Sekolah dan kampus juga sebenarnya sudah menanamkan hal ini di berbagai aspek. Salah satu contoh saja, adanya hukuman bagi mereka yang mencontek di saat ujian ataupun konsekuensi besar bagi para mahasiswa yang melakukan plagiarisme.
Kenapa saya bilang hal ini berkaitan dengan komitmen dan daya juang?
Karena, mereka-mereka yang memang memiliki daya juang teruji dan komitmen tinggi tentunya tak ingin mencari jalan pintas dan solusi ala kadarnya dalam memecahkan masalah.
Nyatanya, masalah-masalah pekerjaan dan hidup itu nantinya akan lebih sulit dan kompleks ketimbang menghapalkan hukum Avogadro, teori relativitas, pasal-pasal hukum perdata, ataupun rumus-rumus matematika.
Menurut saya, institusi edukasi formal tak mampu menanamkan idealisme tersebut. Kebanyakan murid dan mahasiswa tidak ingin mencontek hanya karena takut dihukum namun tak memahami betul alasan dan tujuannya.
Bagaimana dengan esports? Bagi saya, esports bahkan lebih berhasil menanamkan hal tersebut dalam tingkatan pemahaman esensinya.
Misalnya saja di game MOBA, kalian mau kaya? Farming! Latihan last-hit yang benar jika mau creeping atau belajar mapping dan ganking jika mau farming dari hero lawan.
Di tingkatan kompetitif juga demikian. Tidak ada pemain yang tiba-tiba jadi juara tanpa komitmen untuk berlatih keras. Pemain-pemain yang sekarang berada di puncak klasemen juga pasti telah mengalami rasa pahit saat kalah bertanding.
Boleh percaya atau tidak namun sakitnya gagal di babak playoff itu jauuuuuuuh lebih sakit ketimbang ditolak gebetan. Namun, para pemain profesional yang akhirnya sukses itu punya daya juang yang jelas tak dapat diremehkan. Mereka tak mau terus berbaring meski terjatuh.
Memang di komunitas gaming ada yang namanya istilah joki. Namun, bahkan mereka-mereka yang menggunakan jasa joki dan membeli akun peringkat tinggi sebenarnya sadar bahwa skill itu tak bisa didapat dari jalan pintas.
Game dan esports lebih jelas mengajarkan bahwa skill itu adalah buah dari komitmen dan daya juang yang teruji.
Akhirnya, itu tadi 2 hal yang saya anggap bisa menjadi benang merah antara dunia esports dengan pendidikan. Tentu saja, masih buanyaaaaak sekali hal-hal yang bisa dipelajari di sekolahan dan bangku kuliah yang nantinya akan sangat berguna di industri game dan esports.
Sumber: RevivalTV
Relevansi Proses Belajar sebagai Solusi Masalah
Saya mungkin adalah salah satu dari segelintir orang yang tidak percaya dengan salah satu anggapan mainstream yang mengatakan para murid dan mahasiswa itu malas belajar.
Banyak murid dan mahasiswa enggan belajar materi-materi yang diajarkan di institusi pendidikan formal karena tidak mampu menemukan relevansi yang jelas antara materi tersebut dengan ketertarikan mereka.
Maksud saya seperti ini, pelajar yang suka dengan sepak bola bahkan mungkin hapal daftar bursa transfer pemain dan daftar prestasi tim-tim kesayangan mereka. Mahasiswa yang suka bermusik, dengan senang hati, belajar bermain musik tanpa ada insentif alias bayaran.
Para jomlo pun tak pernah disuruh untuk stalking gebetan mereka di media sosial.
Dengan kata lain, kita manusia sebenarnya dengan senang hati belajar hal-hal baru asalkan jelas signifikansi dan relevansinya. Ketertarikan kita atas satu hal juga termasuk dalam signifikansi dan relevansi yang jelas itu tadi.
Esports dan game lebih mampu menjembatani antara ketertarikan kita dengan proses belajar, yang sayangnya kurang berhasil diserukan di institusi pendidikan formal.
Misalnya saja seperti ini, matematika itu sepertinya menjadi momok paling menyeramkan bagi para pelajar. Padahal matematika itu sebenarnya mampu mengasah logika yang dibutuhkan di semua bidang pekerjaan, termasuk di industri esports.
Contoh yang lebih konkrit dan spesifik misalnya, mereka-mereka yang bekerja jadi developer game butuh kemampuan berhitung yang di atas rata-rata jika ingin menyelesaikan masalah balancing (seperti soal buff dan nerf).
Rumus perhitungan damage di Dota 2 misalnya. Mereka-mereka yang takut dengan angka dapat dipastikan tak mampu menyelesaikan persoalan balancing.
Banyak teori bisnis, pemasaran, dan ilmu sosial lainnya, yang akan terlalu panjang jika dijabarkan semuanya di artikel ini, juga sebenarnya berguna untuk mereka-mereka yang bekerja di balik layar di industri esports seperti para owner, manager, ataupun orang-orang yang bertanggung jawab mengurusi media sosial sebuah organisasi esports.
Belajar public speaking juga penting bagi mereka-mereka yang ingin jadi shoutcaster. Belajar bahasa juga tak bisa disepelekan bagi mereka-mereka yang ingin berkecimpung di media esports.
Sayangnya, banyak orang yang terjun di industri terlambat menyadari hal ini karena, salah satunya, akibat ketidakjelasan yang tak mampu diurai dan dijabarkan oleh institusi pendidikan formal.
Namun, positifnya, kaum-kaum muda tidak anti dengan game dan esports sehingga masih banyak waktu untuk mengasah logika dan menabung ilmu pengetahuan setelah mereka menemukan relevansi dan signifikansi yang jelas antara pendidikan dengan esports dan game.
Antara Komitmen dan Daya Juang
Dalam dunia pendidikan dan karir, tak dapat dipungkiri, komitmen dan daya juang menjadi 2 hal paling penting yang harus dimiliki oleh tiap-tiap orang yang ingin meraih sukses.
Sekolah dan kampus juga sebenarnya sudah menanamkan hal ini di berbagai aspek. Salah satu contoh saja, adanya hukuman bagi mereka yang mencontek di saat ujian ataupun konsekuensi besar bagi para mahasiswa yang melakukan plagiarisme.
Kenapa saya bilang hal ini berkaitan dengan komitmen dan daya juang?
Karena, mereka-mereka yang memang memiliki daya juang teruji dan komitmen tinggi tentunya tak ingin mencari jalan pintas dan solusi ala kadarnya dalam memecahkan masalah.
Nyatanya, masalah-masalah pekerjaan dan hidup itu nantinya akan lebih sulit dan kompleks ketimbang menghapalkan hukum Avogadro, teori relativitas, pasal-pasal hukum perdata, ataupun rumus-rumus matematika.
Menurut saya, institusi edukasi formal tak mampu menanamkan idealisme tersebut. Kebanyakan murid dan mahasiswa tidak ingin mencontek hanya karena takut dihukum namun tak memahami betul alasan dan tujuannya.
Bagaimana dengan esports? Bagi saya, esports bahkan lebih berhasil menanamkan hal tersebut dalam tingkatan pemahaman esensinya.
Misalnya saja di game MOBA, kalian mau kaya? Farming! Latihan last-hit yang benar jika mau creeping atau belajar mapping dan ganking jika mau farming dari hero lawan.
Di tingkatan kompetitif juga demikian. Tidak ada pemain yang tiba-tiba jadi juara tanpa komitmen untuk berlatih keras. Pemain-pemain yang sekarang berada di puncak klasemen juga pasti telah mengalami rasa pahit saat kalah bertanding.
Boleh percaya atau tidak namun sakitnya gagal di babak playoff itu jauuuuuuuh lebih sakit ketimbang ditolak gebetan. Namun, para pemain profesional yang akhirnya sukses itu punya daya juang yang jelas tak dapat diremehkan. Mereka tak mau terus berbaring meski terjatuh.
Memang di komunitas gaming ada yang namanya istilah joki. Namun, bahkan mereka-mereka yang menggunakan jasa joki dan membeli akun peringkat tinggi sebenarnya sadar bahwa skill itu tak bisa didapat dari jalan pintas.
Game dan esports lebih jelas mengajarkan bahwa skill itu adalah buah dari komitmen dan daya juang yang teruji.
Akhirnya, itu tadi 2 hal yang saya anggap bisa menjadi benang merah antara dunia esports dengan pendidikan. Tentu saja, masih buanyaaaaak sekali hal-hal yang bisa dipelajari di sekolahan dan bangku kuliah yang nantinya akan sangat berguna di industri game dan esports.
Sumber: RevivalTV
No comments:
Write comments