by Azhar Nurun Ala
Ramadhan, ternyata selama ini kami cuma pura-pura merindukanmu.
Sejak dua bulan lalu ketika kami
panjatkan doa kepada Allah untuk disampaikan kepadamu, kami selalu
bilang kami begitu merindukanmu. Ketika itu pula, kami selalu bilang
kami tak sabar lagi untuk berjumpa denganmu—takut rasanya, bila ternyata
umur ini membuat kami tak punya kesempatan untuk kita saling menyapa,
saling mengisi, saling menyemangati. Akhirnya sampai juga hari ini,
bahkan sudah separuh Ramadhan kami jalani.
Benar sekali, sukacita kami menyambut
kehadiranmu. Apa lagi yang kami tunggu? Maka petasan meledak dan berisik
di sana-sini, masjid-masjid kembali hidup, kitab-kitab dibersihkan dari
debu yang menyelimutinya entah sejak kapan—Ramadhan lalu barangkali,
berbondong-bondong kami berangkat shalat taraweh meski berat sebab perut
kami masih dalam keadaan kenyang keterlaluan, pukul tiga acara televisi
sudah ramai dengan lawakan-lawakan yang tidak lucu, dan seperti biasa:
lagu-lagu religi diperdengarkan di mana-mana.
Inikah juga yang kau harapkan wahai Ramadhan?
Tiap hari
kami menghitung lembar-lembar kitab yang telah kami baca, kami
tersenyum: sudah banyak, insyaallah targetan kami tercapai. Kami tak
terlalu peduli apakah kitab yang bolak-balik kami baca itu kami mengerti
atau tidak, apalagi mengamalkannya—kejauhan. Kami sudah sangat puas
bila ada yang bertanya ‘sudah berapa lembar yang telah dibaca’ kami bisa
menjawab: sudah khatam dua kali. Lalu mereka kagum. Bukankah itu surga?
Tapi itukah sambutan yang sungguh kau harapkan wahai Ramadhan?
Kami melihat agenda harian kami: Senin
buka bersama dengan X, Selasa buka bersama dengan Y, Rabu buka bersama
dengan Z sekaligus Sahur on The Road, Kamis.. Jumat.. begitu seterusnya.
Begitulah cara kami merayakan kedatanganmu. Tarawih bisa dilewat karena
sunnah, Shalat malam jangan ditanya, mana sanggup kami menunaikannya.
Malam-malam kami habiskan dengan tidur dengan lelap karena lelah, jangan
sampai kami kesiangan sahur apalagi ketinggalan acara sahur favorit.
Nanti kami dibilang tidak gaul.
Shalat shubuh di Bulan Ramadhan bagi kami
adalah ritual penting menuju alam mimpi. Ya, kami tidur lagi karena
tidur di Bulan Ramadhan adalah ibadah.
Puasa kami tak pernah bolong barang
sehari, sebagaimana lisan kami yang tak pernah lupa jadwal amalan
gibahnya. Kami begitu kuat menahan lapar, dahaga, berahi, sebagaimana
kami begitu kuat menahan harta yang ada di dompet kami—tak ada yang
boleh menyentuhnya sebab akan kami gunakan untuk lebaran mahameriah
kami. Sesekali kami ingat ucapan penyair itu: ‘kau akan menjadi milik
hartamu jika kau menahannya, dan jika kau menafkahkannya maka harta itu
menjadi milikmu.’ Tapi siapa peduli. Lebaran tetaplah lebaran,
merayakannya dengan kesederhanaan tak boleh jadi pilihan.
Seperti itukah perlakuan yang ingin kau dapatkan wahai Ramadhan?
Kelak ketika Ramadhan berakhir,
kami—dengan mengendarai mobil pribadi kami—akan berkeliling mengunjungi
saudara dan kerabat, bermaaf-maafan atau sekadar mencicip kue. Kami
tentu senang, bahagia, karena katanya kami menang.
Ah, Ramadhan.
Entahlah, kami tak mengerti: barangkali kami memang cuma pura-pura merindukanmu.
~
No comments:
Write comments