Jadi ceritanya saya ini sama sekali belom pernah naik gunung, tapi sok ide pengen menjejakkan kaki di deretan pegunungan Himalaya. Dan akhirnya pada akhir taon 2017 saya nekat beli tiket pulang-pergi jakarta-kathmandu naek AirAsia (seperti biasa maskapai andalanque). Sebenernya ada opsi lain yaitu naik Malindo (yang servicenya lebih joss karena dapet makan dan ada in-flight entertainment) dan harganya cuman lebih mahal dikit. Tapiii berhubung jadwal penerbangan AirAsia lebih cocok buat saya yang cutinya pas2an, jadi saya milih naek AirAsia aja. FYI kalo naik AA kita akan tiba di Kathmandu sekitar jam 2 siang, jadi sore-malam masih bisa jalan-jalan di Kathmandu. Sementara kalo naik Malindo,kita bakal nyampe Kathmandu tengah malam. So, saya mending naik AirAsia bisa nambah waktu jalan-jalan setengah hari di Kathmandu. Untuk harga tiketnya saya dapet 3,8juta PP dari Jakarta, dengan transit sekitar 2 jam dulu di Kuala Lumpur.
Pas saya beli tiket ini, saya sama sekali belom ada itinerary, dan travel-mate pun juga ga punya. Entah kenapa, temen-temen ga ada yang mau diajak ke Nepal. Jadi setelah beli tiket, baru saya browsing2 cari contekan itin yang pas buat jadwal saya yang cuman 11 hari di Nepal. Sebenernya pengen ke Everest Base Camp, tapi 11 hari rasanya super mepet dan budget pun bisa membengkak karena harus nambah beli tiket pesawat lagi dari Kathmandu ke Lukla (Lukla adalah starting point buat trekking ke EBC), jadilah saya memilih trekking menuju ke Annapurna Base Camp yang lebih ramah di kantong dan waktu.
Setelah dapet itin yang sesuai, saya lanjut lagi mencari hal krusial berikutnya: travel-mate. Rasanya bisa mati gaya kalo trekking berhari-hari tanpa ada yang bisa diajak ngobrol. Jadi saya mulai ubek-ubek forum dan blog buat nyari partner trekking ke ABC. Tapi 2-3 bulan berlalu tanpa ada yang berminat join trekking dan akhirnya saya pun pasrah kalo akhirnya bakal solo trekking di Annapurna.
Akhir februari 2018, tiba-tiba keajaiban terjadi. Tak diduga tak dinyana, ada seorang gadis (sebut saja Bunga) mengirim mesej di Instagram, mengatakan kalau ternyata dia juga lagi nyari barengan buat trekking ke ABC! Dan Bunga belom beli tiket sama sekali, jadi setelah ketemuan dan discuss ngalor ngidul, akhirnya Bunga ngikut full semua itinerary saya. Akhirnya sisa waktu yang 1,5 bulan langsung dikebut beli tiket buat Bunga, briefing2 bareng, tuker duit, hunting perlengkapan, sampe (setengah hati) latihan lari buat persiapan fisik. O iya Bunga ini nama aslinya Sien, mojang asli Pontianak.
Berikut beberapa persiapan yang kami lakukan menjelang trekking menuju ABC:
1. Persiapan fisik - lari minimal seminggu 2-3 kali 10x putaran lapangan sepakbola (ini banyak gagalnya karena suasana hati tidak mendukung alias mager).
2. Menyusun itinerary - lihat contekan dari blogger2 lain yang sudah pernah ke ABC. Thanks to Takdos, kapankemana, dan blog-blog luar negeri berbahasa inglis yang saya sudah lupa situsnya, kalian berjasa besar.
3. Booking penginapan - ini penting didiskusikan bersama biar dapet penginapan yang cocok buat kedua belah pihak.
4. Menyusun anggaran pengeluaran disana, lalu tuker duit IDR to USD. Kenapa USD? Karena mata uang Rupee Nepal tidak diperjualbelikan di luar Nepal, jadi kita harus bawa USD dari sini untuk ditukar dengan Rupee disana (Rupiah engga laku di Nepal).
5. Hunting perlengkapan - terutama down jacket, kaos kaki tebel, dan sarung tangan. Meskipun kami kesana pada awal April yang sudah memasuki musim semi, di ABC masih ada salju jadi kami butuh segala sesuatu yang bisa menghalau dingin. Oiya kami juga bawa jas hujan, karena menurut info, awal April akan sesekali turun hujan. Saya cuma beli jas hujan sekali pakai seharga 15rb saja, yang rencananya engga cuma dipake sekali. Pokoknya dipake terus sampe rusak.
6. Beli ransum, cemilan2 (beng-beng), botol air yang bisa diisi ulang, Indomie seleraku, dll.
7. Sudah itu aja sih persiapannya. Sisanya spontanitas aja disana. God bless us anyway.
Day 1 - Kathmandu yang berdebu
Namaste!
Hari itu 5 April 2018 jam 1 dini hari saya mengganjal perut dengan sebungkus Indomie yang harusnya saya bawa buat bekal ke Nepal. Semaleman ga bisa tidur, efek dari excited plus takut gabisa bangun. Jadi saya memutuskan buat ga tidur semaleman. Tidur entar di pesawat aja.
Jam 2.30, sambil membawa tas keril 60L, saya keluar dari kosan menuju ke Alfamart terdekat untuk ketemu sama Sien, dan selanjutnya order GoCar menuju ke Terminal 3 Ultimate Bandara International Soekarno-Hatta. Sebelumnya kami sudah chec-in online dan ngeprint boarding pass, jadi kami ga perlu check in lagi di bandara. Sebelum melewati imigrasi, kami makan bekal nasi padang dulu yang sudah disiapkan dari kosan. Maklum anak kos, daripada beli makan di bandara kan mahal ya. Minumnya kami isi ulang gratis yang ada di bandara.
Kenyang sarapan, kami menuju ke counter imigrasi. Skip skip semua lancar melewati imigrasi, pesawat juga gak delay. Penerbangan lancar 2 jam menuju Kuala Lumpur International Airport diisi dengan tidur nyenyak. Sampai di KLIA, transit sekitar 2 jam, kami pesen makan lagi buat ganjel perut karena setelah ini bakal flight 4 jam lebih dan kami gak pesen makan di pesawat. Makan di food court bandara pesen nasi briyani ayam dengan harga 18 ringgit, satu porsi buat berdua dalam rangka ngirit. Pesawat berikutnya menuju Katmandu juga lancar tanpa delay. Flight 4 jam kami habiskan juga dengan tidur nyenyak. Saya sempet pesen kopi di pesawat seharga 6 ringgit, yang ternyata kopinya enak juga.
AirAsia
Ganjel perut di food court KLIA2
Mendarat di Kathmandu sekitar jam 2 siang waktu setempat, kami langsung menuju ke counter Visa on Arrival. Kami sudah persiapan bawa pas foto ukuran 3x4 dan 4x6 buat keperluan bikin VOA ini, tapi ternyata disini bisa langsung difoto otomatis (dan gratis). Untuk pembuatan VOA kita harus antri dulu untuk apply via mesin yang sudah disediakan. Mesinnya ada beberapa, dan semuanya antri lumayan panjang. Begitu sudah di depan mesin, kita bisa scan paspor kita dan secara otomatis data-data kita akan terekam di mesin tersebut. Tapi kalo misal scannernya gagal, kita juga bisa masukin data2 kita secara manual. Setelah semua data sukses terekam, akan keluar selembar kertas yang harus kita berikan ke counter pembayaran VOA. Biaya visanya USD25 untuk durasi tinggal 15 hari dan USD40 untuk 30 hari. Karena kami cuman 11 hari disini, jadi kami bayar USD25. Setelah visa menempel di paspor, barulah kami menuju ke counter imigrasi. So far prosedur pembuatan VOA di Nepal cukup simple, hanya saja antrinya lumayan lama. Kami memerlukan waktu sekitar 1 jam untuk pengurusan visa dan imigrasi. O iya, di samping counter pembayaran VOA juga ada money changer. Kami sempat tukar sedikit NPR (Nepali Rupee) disini buat naek taxi.
Welcome to the Land of Buddha.
Antri VOA
Kelar imigrasi, kami menuju counter taxi. Taxi di Nepal gak ada yang pake argo, semuanya manual tawar2an. Tapi di bandara ada counter taxi dengan tarif flat tergantung tujuan kita. Tujuan pertama kami saat itu adalah menuju Nepal Tourism Board (NTB) untuk ngurus trekking permit. Biaya naik taxi menuju NTB adalah NPR700. Lumayan murah, dibagi 2 cuman 350 per orang. Taxinya kami dapet mobil minibus jadul, tanpa AC. Gak perlu AC juga sih karena suhu udaranya masih dingin sekitar 20 derajat celcius. Tapi begitu taxi memasuki wilayah perkotaan, muncullah debu dimana-mana. Terpaksa kami tutup semua jendela taxi biar debu gak pada masuk. Gak boong, debu di Kathmandu ini bisa dibilang ekstreme.
Gedung Nepal Tourism Board
TIMS (ACAPnya di dalem, gak keliatan)
Sampai di NTB, kami mengurus 2 trekking permit, yaitu TIMS (trekking permit di Nepal) serta ACAP (ijin memasuki wilayah Annapurna Conservation Area). Seharusnya pembuatan ACAP udah tutup jam 3 sore, dan waktu itu kami dateng udah jam 4. Tapi bapak-bapak judes di balik meja ACAP masih berbaik hati membantu kami. Untuk pembuatan TIMS sendiri counternya masih buka dan kami dibantu sama mbak petugasnya yang ramah. Pembuatannya memakan waktu sekitar 30 menit, biayanya total NPR4260. Mahal
Dari NTB, kami menuju ke Om Tara Guest House yang sudah kami booking online. Lokasinya di Thamel Street, dan diliat di GPS cuman sekitar setengah jam jalan kaki. Jadi daripada naek taxi, kami memilih jalan. Sepanjang jalan debu banyak banget, herannya orang-orang Nepal banyak banget yang jalan kaki di trotoar, kayak gak terganggu sama debu yang ada dimana-mana. Kami juga melewati daerah pasar tradisional di gang-gang sempit dekat Thamel.
Menuju Thamel Street
View dari rooftop Om Tara Guest House
Sampai di Om Tara Guest House, check in USD13 per kamar untuk 2 orang, lalu kami sekalian tuker duit NPR dan booking tiket bus menuju Pokhara buat esok paginya. Tiket bus kami dapet seharga NPR800 per orang. Yang jaga di Om Tara ini orangnya ramah-ramah, suka membantu dan rajin menabung. Kami dibantuin tuker duit, booking bus PP ke Pokhara sampai booking hotel juga pas baliknya nanti ke Kathmandu lagi. Recommended pokoke. Kamarnya juga cukup bersih, dan yang penting hot showernya berfungsi dengan lancar jaya.
Thamel Street, area backpacker tertua di dunia
Dal Bhat
Kami menutup hari itu dengan muter-muter cari makan di sekitar Thamel (Dal Bhat dan Pork Chop buat makan barengan), lalu hunting sarung tangan buat Sien karena beliau belom bawa dari Indonesia. Setelah itu, balik hotel, istirahat. Besok kudu bangun pagi karena bus berangkat jam 7 menuju Pokhara.
Adios!
Untuk cerita lengkap atau trip story lainnya monggo mampir ke blog ane di bokekpacker
SUMBER
No comments:
Write comments