STANDAR PELAYANAN MINIMAL TRANSJAKARTA
Kita
pasti selalu bertanya tanya; Mengapa tiap kali mengeluhkan busway,
mengeluhkan Transjakarta lagi lagi seiring berjalannya waktu keluhan
kita hanya berujung sebagai kata kata yang menguap begitu saja. Again and again
– hari ini terjadi, besok lagi dan lagi, sia sia - tidak ada upaya
perbaikan. Dan pada akhirnya seluruh keluhan tersebut bermuara pada
suatu pemakluman bersama. “ya memang kayak gini.. mau gimana lagi.. “
Inti dari persoalan ini adalah Standar Pelayanan Minimal. Manual Book
atau Kitab Suci utama tentang poin-poin pelayanan minimal yang
seharusnya diberikan transjakarta kepada penumpang selama ini ternyata
belum pernah disusun dan belum pernah ada. Transjakarta seharusnya sudah
memiliki Standar Pelayanan Minimal, yang dicetak ratusan eksemplar
dijadikan buku saku kecil yang harus dibaca dan dipahami baik oleh
seluruh karyawannya maupun bisa dibaca juga oleh semua penumpang.
Sehingga terbentuk satu pemikiran bersama tentang standar minimal apa
yang harus diberikan kepada penumpang.
Sungguh memprihatinkan
pada akhirnya busway hanya memberikan pelayanan ala kadarnya tanpa
pedoman strandar yang bisa dijadikan pegangan bersama.
ISI STANDAR PELAYANAN MINIMAL
Berikut
garis besar standar Pelayanan Minimal Transjakarta yang seharusnya
sudah disusun dan disiapkan sebelum busway itu ada, Sebuah Standar yang
seharusnya sudah dicetak sebelum koridor 1 diaktifkan. Isi Standar
Pelayanan Minimal tersebut antara lain: 1.Safety, 2.Jadwal Perjalanan,
3.Service & Kenyamanan, 4.Informatic System.
1. SAFETY
Tentu
saja faktor keamanan mutlak menjadi perhatian utama. Selain regulasi
teknis seperti batas kecepatan bus, hal-hal kecil yang harus
diperhatikan lagi dalam sistem busway salah satu diantaranya adalah :
aktif tidaknya pintu otomatis gate penghubung antara bus dan halte,
sudah diupayakan untuk tetap aktif sebagaimana mestinya atau tidak. Atau
memang ada kesengajaan dibiarkan tidak aktif / terus terbuka? Kalau
memang pada akhirnya dibiarkan terbuka saja ya kenapa dulu dibuat?
Kemudian
masalah step platform pijakan penumpang yang menghubungkan bus dan
halte. Apakah sudah diatur secara detail batasan dimensinya. Apakah
sudah diatur standar kerenggangan atau space antar bus dan bibir hallte
minimal berapa cm? apakah sudah dipikirkan apakah seluruh halte
memungkinkan penumpang berkebutuhan khusus seperti kursi roda bisa
menyeberangi bibir halte ke arah bus secara nyaman dan aman?
Apakah
desain halte selama ini dibuat dengan modul seragam? Kondisi halte
busway seharusnya tidak bisa diseragamkan karena beberapa halte memilki
kondisi khusus yang berbeda satu sama lainnya. Kita ambil salah satu
contoh pada kasus Halte Pasar Baru misalnya, di mana sebelum mencapai
halte, bus harus bermanufer dalam posisi belok/ serong saat mendekati
bibir halte. Platform pijakan seharusnya didesain menyesuaikan dengan
kondisi lapangan, tidak bisa begitu saja dibuat seragam / modular.
Hal
hal kecil dan pritilan semacam inilah yang harusnya ditulis dalam
Standar Pelayanan Minimal dan diupayakan agar bisa diawasi bersama
sehingga seluruh pihak bisa saling mengingatkan.
2. JADWAL PERJALANAN
ilustrasi 02 : Countdown Timer
Inilah
hal paling vital yang sering dikeluhkan penumpang. Busway belum punya
jadwal perjalanan! Interval bus belum diatur secara ketat. Bus belum
bisa diandalkan sebagai BRT. Unsur “Rapid”nya ternyata belum dipenuhi.
Di
saat negara maju 20 tahun yang lalu sudah mencetak jadwal bus kotanya
seperti kamus saku, dijual di toko buku secara bebas, kita Indonesia di
Tahun 2013 masih dipusingkan dengan ketidakjelasan jadwal.
Kalo
toh jadwal belum bisa diupayakan tepat waktu sehingga pihak
Transjakarta masih enggan menyusunnya, oke mungkin penumpang bisa
memaklumi hal itu. Namun seharusnya kita masih memiliki pegangan
minimal, misalnya sebagai kompensasi belum ada jadwal seharusnya busway
mampu menyediakan interval yang ketat. Itu jauh lebih penting. Bus harus
konsisten datang tiap 5-7 menit sekali. Dan jangan sekali datang
langsung 3 bus bebarengan kemudian 20 menit kemudian hilang. Bagaimana
menjadi transportasi andalan jika masalah seperti ini masih ada?
Kemudian
di era 2013 ini, masing masing unit busway seharusnya sudah dilengkapi
GPS , sehingga keberadaanya bisa selalu dimonitor pada halte halte yang
akan ditujunya. Di jaman yang sudah modern ini penumpang seharusnya
sudah bisa memantau estimasi waktu kapan busway terdekat akan sampai di
halte. Jangan biarkan penumpang menyodorkan kepala keluar halte dan
menunggu tidak jelas. [ilustrasi 02: countdown timer - estimasi kedatangan bus]
3. SERVICE & KENYAMANAN
TOILET
Seluruh
bangunan atau fasilitas umum apapun itu, jika memang keberadaanya untuk
mewadahi aktifitas orang banyak maka wajib memberikan fasilitas toilet
umum. Kita bisa sedikit memaklumi transjakarta keberatan jika harus
menyediakan toilet di seluruh haltenya. Tapi bukan berarti tidak ada
pegangan batas minimal sama sekali. Menurut saya masih ideal jika
minimal 1 dari 3 total halte yang ada disediakan toiletnya.
Keberadaannya bisa disebar - tidak kita temukan di halte A, berarti kita
bisa temukan di halte B atau C dan begitu seterusnya. Kita harus bisa
memaklumi bersama beberapa kondisi halte memang tidak memungkinkan lagi
untuk dibangun toilet. Secara space imposible. Namun harus tetap ada
standar minimal yang harus dipenuhi, yaitu 33% atau 1 dari 3 halte harus
ada toiletnya. Aktifitas dadakan personal dan di luar perencanaan
penumpang seperti ini bisa datang kapan saja dan terjadi di mana saja.
Toilet wajib disediakan.
DIMENSI HALTE
Ilustrasi 03 : Halte
Masalah
fasilitas lainnya adalah dimensi standar halte. Adalah menambah
kapasitas ruang halte tidak bisa diperhitungkan untung dan ruginya
karena jumlah penumpang dari hari ke hari akan terus meningkat. Halte
halte transit penting seperti Harmoni, Grogol, Senen Central serta Dukuh
Atas tentu saja segera memerlukan penambahan space yang mendesak demi
kenyamanan bersama. Situasi yang bisa kita lihat hari ini sudah jauh
berbeda dari sepuluh tahun yang lalu. Kita harus apresiasi bersama
kesadaran penduduk beralih ke transportasi massal. Bentuk penghargaan
pemerintah kepada penduduk yang menjadi pahlawan kemacetan ini yang
paling mudah dilakukan ya dengan penambahan dimensi halte penting
tersebut. Jika halte tidak memungkinkan dilebarkan masih bisa dipanjangkan, tidak memungkinkan diperlebar dan diperpanjang bisa ditingkat levelnya ke atas, simple.
Selain
halte halte transit, yang tidak kalah pentingnya adalah kita harus
memperhatikan lagi halte halte kecil yang kadang luput dari pengamatan .
Apakah iya “halte-halte mini” yang pada awal didirikannya
memang saat itu kondisi bus belum ada yang gandeng akan dibirakan terus
berukuran kecil? Kita ambil salah satu contoh kasus halte Tosari
misalnya. [lihat ilustrasi 03]. Halte ini berada di jantung
ibukota, tepat berada di kawasan Bundaran HI. Tapi dari 10 tahun yang
lalu tetap saja kecil padahal bus sudah berevolusi menjadi bis gandeng.
Saat anda akan turun di halte ini, jangan salah bus yang anda naiki
memang akan membuka seluruh pintunya baik pintu tengah maupun pintu
belakang. Tapi aneh bin ajaib karena saking pendeknya halte
ini, jika anda kebetulan berada di bagian belakang anda tidak akan bisa
turun karena bahkan ukuran haltenya tidak lebih panjang dari busnya.
PEDESTRIAN PATH
Ilustrasi 04 : atap plastik policarbonate (?)
Pedestrian Path
adalah hal yang vital dalam sistem busway. Apakah pada awal
perancangannya sudah ditetapkan kemiringan ramp standar berapa derajat?
Jika pengguna kursi roda menggunakan ramp yang dibeberapa tempat sangat
curam tersebut apakah penumpang berkebutuhan khusus ini bisa
menggerakkan kursi rodanya secara mandiri dengan aman atau harus dibantu
petugas busway atau bagaimana? Hal hal seperti inilah yang seharusnya
sudah diatur dalam Manual Book Standar Minimal Pelayanan.
Kemudian
atap penutup pedestrian path ini sudah sesuai standar atau belum? Saya
belum sempat counter check berapa anggaran pembangunan halte halte ini
pada 10 tahun yang lalu. Halte busway tentu dibangun dengan anggaran
yang tidak kecil dan dikerjakan kontraktor ternama. Dari contoh
sederhana saja kita pasti sudah bisa menilai bukankah atap policarbonate (plastik) ini sangat ringkih dan merupakan standar tipe atap untuk rumah sederhana? [lihat ilustrasi 04]
Atap jenis ini lebih sering kita jumpai sebagai jemuran rumah, apakah
atap seperti ini layak mewakili image Transjakarta sebagai transportasi
andalan Jakarta?
Belum lagi saat hujan deras dengan mudahnya air
tetap membasahi penumpang di bawahnya. Alih alih saat transit penumpang
berharap tetap kering, yang terjadi justru tidak jauh berbeda dengan
bertransportasi menggunakan bajaj karena sama sama basah juga saat
hujan.
4. INFORMATIC SYSTEM
ilustrasi 05 :
Sistem
Informasi di busway Transjakarta pada era digital hari ini bisa kita
simpulkan masih dijalankan secara tradisional. Dijalankan seperti halnya
kita sedang hidup di era tahun 1800-an di mana moving text (running
text screen) dan automatic speaker belum ditemukan.
Kita tentu
saja tidak habis pikir. Apa gunanya di bus modern ini disediakan
fasilitas automatic speaker information yang dipadukan moving text jika
ternyata para onboard staffnya masih harus teriak teriak nama halte yang
akan dituju. Jika dia harus teriak teriak seperti itu , apa bedanya
onboard staff ini dengan kenek bus di terminal? Adalah onboard staff
yang idealnya memiliki tugas utama menjaga ketertiban penumpang dan
memberikan senyum sapa manis, bukannya dipekerjakan untuk teriak teriak.
Sangat aneh jika fasilitas sudah ada dan disediakan namun
tidak diupayakan untuk tetap aktif. Di saat Singapore Bangkok, KL,
Hongkong sudah menerapkan bilingual atau bahkan multilingual sistem
dalam speaker information di public transportnya. Di Jakarta kita masih
bisa menemukan onboard staff yang dipekerjakan seperti kenek bus teriak
teriak secara manual. Bagi orang yang sudah terbiasa menggunakan koridor
yang sama setiap harinya tentu saja sudah di luar kepala dalam
menghafal nama nama halte. Tapi pernahkah kita berpikir dari sudut
pandang penumpang turis domestik atau truris asing? Akan seperti apa
sulitnya melihat situasi ini? Dan bagaimana pula dengan penumpang
berkebutuhan khusus seperti tunga rungu misalnya, bagaimana cara mereka
mengetahui halte yang akan dituju jika sistem informasinya dibiarkan
tidak aktif?
Saya pribadi sudah mencoba berbagai macam koridor,
saat ini hanya koridor 12 saja bus dengan informatic system yang aktif
dengan baik - walaupun masih memerlukan beberapa perbaikan minor. Ke 11
koridor lainnya seperti apa kondisinya? – bisa kita simpulkan sendiri.
Bahkan bus gandeng baru Zong Thong, Bus warna merah koridor 1 yang
sangat kita cintai inipun dari awal kehadirannya dibiarkan tidak aktif
informatic systemnya. Dari awal bus baru datang, bus masih diplastik
sampai hari ini tulisannya masih saja " welcome" . [ ilustrasi 05]
BERSAMBUNG
Tulisan sebelumnya:
Masa Depan Transjakarta #1 : Menciptakan Design Jalur Busway Yang Steril
Tulisan selanjutnya:
Masa Depan Transjakarta #3 : Evolusi Transjakarta
No comments:
Write comments