Kemacetan adalah suatu
masalah yang kompleks. Selama masalah kemacetan ini belum teratasi
tentu saja kita tidak akan pernah bosan untuk terus membicarakannya.
Selama bertahun tahun pemerintah bersama warga telah sama sama belajar,
dan saling bertukar pendapat untuk menarik benang merah masalah dan
memecahkan bersama. Jika dipandang secara komprehensif, seperti yang
sudah berulang ulang dijelaskan Pak Gurbernur, inti permasalahan
kemacetan ibu kota dan kota besar lainnya adalah masalah aktifitas
pergerakan penduduk. Macet disebabkan oleh tersendatnya volume
pergerakan manusia dengan jumlah sangat besar untuk varian aktifitas
yang berbeda beda . Pada akhirnya kita sadari atau tidak, baru pada era
Jokowi-Ahok inilah kita baru agak “ngeh” dan terbentuk kesadaran bersama
satu pikiran bahwa solusi utama untuk mengatasi kemacetan adalah
melalui perbaikan dan efisiensi transportasi massal. “Pindahkan
manusianya, bukan kendaraanya.”
MENGAPA BUSWAY? MENGAPA TRANSJAKARTA?
Beberapa
bulan terakhir ini, persepsi kita seakan tenggelam pada kepopuleran
transportasi massal modern. Tenggelam akan kepopuleran akan dibangunnya
jaringan MRT, atau lebih cocok disebut Subway – Kereta Bawah Tanah yang mix dengan Kereta Layang yang menghubungkan Lebak Bulus hingga Kampung Bandan. Serta Monorail yang bangunan struktur tiang tiangnya sudah menghiasi ibu kota sejak satu dekade yang lalu ini.
Subway dan Monorail memang
keren, semua orang menantikannya. Ingin segera menaiki dan berfoto di
dalamnya saat launching hari pertama. MRT dan Monorail memang harus ada,
harus segera dibangun, kita harus dukung bersama hal ini. Karena
Jakarta sudah tertinggal 20 tahun dibanding Singapore dan KL.
Tapi sebelum kita tenggelam dengan euforia
MRT dan Monorail, marilah kita lihat sejenak pada daftar jaringan
transportasi massal berikut, sebenarnya moda publik transport apakah
yang paling vital keberadaannya di Kota Jakarta ini?
Berikut perbandingan jaringan moda transportasi publik di Jakarta:
- MRT : 1 koridor - 21 km – [ aktif 2017 ], - koridor berikutnya aktif Tahun 2027 jalur belum diketahui -
- Monorail : 1 koridor - 20 km
- KRL : 4 koridor - 235 km
- Transjakarta : 12 koridor - 248 km
Ternyata
dari daftar di atas tersebut, kita melihat Busway atau Transjakartalah
yang (lagi-lagi) memiliki peran vital bagi transportasi Massal di
Jakarta, paling tidak hingga beberapa dekade mendatang. Sedangkan KRL
atau Commuter Line juga memiliki peranan vital untuk angkutan jarak menengah pada jangkauan Jabodetabek.
Jadi
jika ada anggapan bahwa setelah MRT terbangun, masalah kemacetan
langsung selesai adalah salah. MRT harus dioptimalkan, Monorail harus
dioptimalkan, dan yang lebih penting lagi penduduk harus lebih mencintai
lagi Busway dan KRL yang hari ini sudah tersedia ini. Karena ternyata
kedua moda tersebutlah Transportasi massal dengan jaringan paling
panjang di penjuru Jakarta. Jadi, saat subway dan monorail ini sudah
hadir nanti, ternyata kita harus tetap memperhatikan serta meningkatkan
kualitas public transport khususnya KRL dan Transjakarta.
SEJARAH TRANSJAKARTA
Mari kita flashback sejenak, Transjakarta yang kita kenal hari merupakan adopsi langsung dari sistem Busway Transmilenio yang sudah sukses di Kota Bogota Colombia.
Transmilenio
di Bogota sendiri secara kasat mata mendapatkan perlakuan yang lebih
istimewa dibanding saudara kandungnya Transjakarta yang sudah kita kenal
bersama di sini. Seperti yang kita lihat pada foto di bawah ini,
transmilenio ternyata memiliki 2 lajur pada tiap tiap arahnya, sehingga
kebutuhan total yang digunakan Transmilenio ini menghabiskan 4 jalur
sendiri dari jalan raya eksisting yang ada untuk mewadahi dua arah
berlawanan dalam satu koridor yang sama.
TransMilenio Bogota
Keberadaan
2 lajur per arah ini vital peranannya mengingat kondisi Bis tidak bisa
dikatakan selamanya akan “fit dan sehat”. Jika salah satu unit bis tiba
tiba mogok atau pecah ban, sistem 2 lajur seperti di Bogota ini
berfungsi efektif agar perjalanan bis-bis lain di belakangnya tidak ikut
terhambat.
180o dengan apa yang terjadi di Jakarta. Hanya ada 1
lajur untuk satu jalur saja. Ibarat main game, nyawa kita cuma satu,
sekali celaka – slese sudah, game over. Tidak jarang kita
melihat antrian panjang puluhan bus transjakarta yang terjebak sudah
tidak bisa ke mana mana hanya karena salah satu bis di depannya mogok.
Mogoknya 1 bus berdampak bagi 30 bus di belakanganya !
Evakuasi/derekpun tidak bisa dilakukan dengan segera karena kiri kanan
ternyata sudah macet. Stuck, tidak bisa ke mana mana – Luar biasa.
Jadi, sistem satu lajur ini ternyata belum ideal dan rentan dari
berbagai kelemahan.
Masalah berikutnya adalah Jalur
belum steril, Transjakarta belum diistimewakan, belum menjadi “Raja
Jalanan” yang sesungguhnya. Definisi utama dari busway sebagai angkutan
massal istimewa yang memiliki jalur sendiri ternyata belum sepenuhnya
dihargai dan diusahakan bersama kesakralan jalurnya. Karena macet sudah
sedemikian parahnya, beberapa persepsi dari kita sendiri justru merasa
tidak terlalu berdosa jika meminjam jalur busway sejenak. Praktis dari
12 koridor yang sudah aktif baru koridor satu saja yang senantiasa
bersih dari gangguan kendaraan lain. Padahal mengutip dari kata Bang
Yos, pada awal hadirnya Busway, harapan Bang Yos saat itu jalur busway
haruslah steril, jangankan konvoi pejabat, ambulance pun tidak
diperkenankan meminjam jalurnya.
CARA MESTERILKAN JALUR BUSWAY
FUNGSI vs ESTETIKA
Saat
kita memperhatikan separator busway seperti koridor 3 Harmoni-Kalideres
atau koridor 5 Ancol – Kampung Melayu yang tinggi dengan besi ulir di
atasnya tersebut apa yang terbayang di benak kita? Indahkah? Bagaimana
standar safety separator ini? Dan yang paling mudah diamati adalah
apakah separator tersebut baik secara estetika. Atau memang dipasang
hanya sekedar asal fungsi?
Mari kita cermati bersama sama
ilustrasi di bawah ini untuk mempelajari metode apa saja yang bisa kita
wujudkan untuk menciptakan jalur busway yang steril, cepat, dan efisien.
Future Busway U-Turn Scheme
Jadi
untuk menciptakan jalur yang steril dan efisien. Selain fungsi, kita
juga harus memperhatikan estetika, menciptakan suasana enak dipandang.
Agar busway tidak mudah terganggu kendaraan lain adalah dengan
menciptakan atmosfer jalur busway yang lebih privat dan eksklusif. Untuk
jalur busway kita harus ciptakan suasana yang berbeda dari jalan umum
di kiri kanannya. Jadikan busway ini “dunia yang berbeda” sehingga
pemakai kendaraan pribadi enggan memasuki zona jalur buswaynya. Pohon
atau separator vegetasi yang sebelum kehadiran busway hanya untuk
pembatas tengah, saat hadirnya busway seharusnya diefektifkan lagi
sebagai pemisah atmosfer busway dan non busway.
Sebagai gambaran
dasarnya, kita bisa melihat contoh yang sudah ada seperti jalur KRL
Pasar Minggu – Lenteng Agung – UI di mana atmosfer KRL dan non KRL
begitu tegasnya dipisahakan. KRL di tengah, sementara kiri kanan jalan
raya, tentu saja kita bisa menerapkan preseden yang sama ini untuk
diterapkan pada busway.
Selain separator alami – taman dan
vegetasi sebagai pembatas busway dan non busway . Jalur busway harus
digabungkan dua arah berlawanan dalam jalur bersama tanpa separator
(lihat ilustrasi). Penggabungan 2 jalur ini efektif sebagai kompensasi
situasi lebar jalan Jakarta yang jauh berbeda dibanding Bogota. Di mana
Bogota masih memungkinkan mendapatkan jalur busway yang lebar sedangkan
Jakarta tidak. Hal ini penting sebagai upaya menyelesaikan permasalahan
mendesak seperti evakuasi saat bus sedang mogok.
Future Busway with Existing Bus Station
Busway Kastanya lebih tinggi dibanding Jalan Toll
Jika
kita melalui jalan Sudirman dan MH Thamrin tentu saja kita melihat
Jalur Busway Koridor 1 sudah sesuai kodratnya – berada di ruas paling
tengah - menjadi “Raja Jalanan” sesungguhnya. Sebuah contoh
sukses. Namun hal istimewa yang sama belum ditemukan saudara saudaranya
di koridor lain. Sungguh berbeda saat Jalur Busway dipertemukan dengan
Jalan Toll. Ternyata “pembedaan kasta” tetap diberikan, anehnya Toll
yang sebagian besar berisi mobil mobil pribadi ini justru mendapatkan
prioritas lebih besar dibanding busway. Pada salah satu contohnya
Koridor 9 Pluit – Pinang Ranti misalnya. Yang kita temukan setiap
harinya di Jl. Gatot Subroto dan Jl. S. Parman ini tentu saja aneh. " Masak busway ikutan macet?"
Jl. Gatot Subroto Scheme
Saat bertemu Toll, idealnya Busway berada di tengah tengah Toll, Busway seharusnya di dalam jalur Toll bukan di-pinggirannya, sehingga busway ini tidak tersendat hanya karena ulah kendaraan pribadi pada titik in-exit Toll. Saat busway menjadi integrasi langsung jalur toll tentu saja waktu tempuh busway jauh lebih cepat dari yang terjadi hari ini. SIMPLE !
Busway meet Toll Scheme
Kemudian
seperti contoh Koridor 10 Tanjung Priok – Cililitan. Saat dipertemukan
kondisi dengan jalan toll berada di jalan layang, busway ini harusnya
ikut di atas. Ikut toll di ruas paling tengah sehingga tidak disibukkan
oleh keberadaan lampu merah dan in-exit mobil mobil pribadi.
Sesungguhnya
dalam perencanaan awal sebelum busway hadir, apa yang menjadi
pertimbangan busway harus di luar toll? Apakah busway ikut keluar masuk
toll? Kan tidak. Sekali di dalam ya terus di dalam. Justru busway inilah
yang harus di tengah- tengah toll. Kastanya lebih tinggi dibanding
mobil pengguna toll. Dengan jalur busway berada di tengah ruas toll,
busway baru boleh layak menyandang predikat “ RAPID “ di dalamnya. Bus Rapid Transit. Yang kita alami hari ini kan definisi kata "RAPID" dari Transjakarta belum bisa kita rasakan.
Faktor
apakah yang sesungguhnya menyebabkan Busway masih di bawah prioritas
mobil pribadi pemakai Toll? Sangat tidak masuk akal. Katakanlah lajur
toll berkurang 25% kapasitasnya, hal ini tidak akan berdampak langsung
pada penurunan pendapatan Jasa Marga di Toll. Mobil pribadi akan selalu
berbondong bondong dan berlomba lomba menggunakan toll.
Adalah
satu unit bus berkapasitas 120 orang di jam sibuk haruslah diutamakan
dibanding mobil dengan kapasitas 3-4 orang, bahkan di lajur non three in one
dengan mudahnya kita temukan mobil dengan kapasitas hanya 1-2 orang
saja. Saat busway sudah di dalam Toll, dan sukses bertransformasi
menjadi BRT yang sesungguhnya, sekmen 1-2 orang pemakai mobil ini akan
lebih tertarik pindah menjadi penumpang busway yang lebih cepat. Efisien
karena kapasitas satu unit busnya setara 60 mobil.
Saat akan
hadir ide “sembrono” motor boleh masuk Toll, alangkah lebih etis jika
kita lebih mempertimbangkan prioritas busway. Buswaylah yang harusnya di
dalam ruas toll. Kasta Busway tentu saja harus ditinggikan dibanding
kendaraan pribadi dalam kondisi apapun.
Saat bertemu jalan
layang non tollpun, posisi busway seharusnya di atas, bukan di bawah.
Sehingga dia benar benar menjadi yang utama. Mari kita cermati bersama
keberadaan Jalan layang Pesing di Jl. Daan Mogot yang dibangun di era
Foke ini. Kita tentu sama sama mempertanyakan sebenarnya apa maksud dan
tujuan didirikan Jalan Layang ini? Mengapa ada jalan layang yang hanya
satu ruas untuk satu jalurnya? Sangat mengerikan dampaknya saat ada satu
mobil saja yang mogok di tengah. Sudah sering terjadi, satu mobil mogok
berdampak terjebaknya ratusan mobil di belakangnya, mengerikan ! Jalur
ini dan beberapa jenis yang lain sebaiknya dikhususkan untuk busway
saja. Diperuntukkan untuk kemaslahatan yang lebih besar.
Tulisan selanjutnya:
Masa Depan Transjakarta #2 : Standar Pelayanan Minimal
Masa Depan Transjakarta #3 : Evolusi Transjakarta
Tapi ada di beberapa kota yang menerapkan hal yang sama (busway) kesannya hanya untuk menjaga gengsi saja. Prasarana yang belum lengkap malah membuat kemacetan semakin parah gan, salah satunya di kota domisili ane gan... :)
ReplyDeleteSaran ane sih, persiapkan segala sarana penunjang (jalur khusus, rambu2, halte, ticketing, dll) terlebih dahulu, jika semua sudah OK baru sebuah kota siap untuk mengoperasikan bus dengan jalur khusus.