Quote:Di belahan dunia ketiga, kemampuan ekonomi seseorang sudah tidak lagi mampu menjanjikan kasta tertinggi dalam sistem masyarakat. Kebanyakan dari mereka yang berpendidikan dan berpenghasilan tinggi, nyatanya malah berperilaku penuh tanda tanya dan secara tidak sadar selalu menjadi pelayan dari tiap fenomena sosial yang ada.
Quote:Seorang waiter terlihat berdiri di salah satu meja untuk memastikan sekali lagi bahwa seluruh order pesanan pelanggan sudah selesai dia hantarkan semua.
"Terima kasih ya mas. Pesanannya sudah diantar semua kok sepertinya." Ujar salah satu pelanggan yang duduk persis di sampingnya. Mas-mas waiter tadi membalas ucapan pelanggan dengan senyuman dan bergegas pergi untuk melanjutkan pekerjaannya. Si pelanggan pun kembali menoleh ke arah mejanya.
Terlihat teman-temannya yang lain sedang asyik sendiri-sendiri mengambil gambar dari makanan yang mereka pesan dengan macam-macam angle ala food blogger. Kira-kira butuh waktu sekitar lima menit sampai akhirnya mereka semua merasa puas dengan hasil jepretan yang didapat.
Setelahnya, suasana masih terlihat hening. Masing-masing dari teman pelanggan tadi sekarang malah terlihat sangat serius memikirkan sesuatu. Sambil sesekali mereka menggumam ke satu sama lain : Menurut kamu, kalo captionku pakai ini bagus engga?
Diskusi soal pemilihan caption tadi sudah berlangsung sekitar sepuluh menit. Sampai akhirnya mereka semua menikmati pesanan makanan yang sepertinya sudah mulai turns cold. Beberapa wajah tampak terlihat gelisah sambil sesekali memeriksa notifikasi di layar smartphone, sekedar memastikan imaging dari postingan terakhir mereka sudah cukup authentic untuk dilihat.
Suasana restoran yang terkesan fancy itu pun kini perlahan mulai terasa abu-abu. Dari suasana sekitar yang awalnya cukup ramai hingga satu persatu pelanggan lain mulai berpergian, kondisi di meja pelanggan tadi tidak banyak berubah. Kalau boleh mengucapkan secara spontan, mungkin seseorang yang sudah mengamati mereka dari awal akan memberikan mereka julukan "Kawanan Minim Obrolan".
Duduk dengan formasi melingkar, kemudian menikmati makanan dengan tempo sesendok — istirahat — sesendok. Terlihat akrab dan tertawa sesaat lagi saat kamera disodorkan di hadapan mereka, dan kembali menjadi autis individualis lagi dengan dalih memaintenance orang lain yang sedang tidak bersama dengan mereka (re: followers). Suasana ini selamanya tidak akan mencair sebelum mereka menganggap engagement comments dan likes mereka sudah ada di kategori aman. Bahkan sampai pada akhirnya mereka nanti harus berpisah dan mengucap janji untuk meet-up lagi di kemudian hari, hampir bisa diprediksi malam-malam yang lain akan tetap berkronologi sama seperti malam ini.
Quote:Benar, statement di atas tidak salah. Bagaimana cara seseorang spending money itu akan selalu menjadi kebebasan tiap individu yang tidak bisa disalahkan. Tapi jika harus menimbang dengan realita yang didapat seperti ilustrasi di awal tadi, bohong jika setelahnya tidak ada perasaan agak menyesal yang mengganggu pikiran.
Tapi kebanyakan orang justru terus mengulanginya dan seolah tidak peduli apa yang akan didapat nantinya. Padahal pembelaan yang mengatasnamakan materi tadi sudah cukup lumayan untuk menutupi kegelisahan beberapa individu akan sebuah fenomena yang bernama sosialita. Bahwasanya mereka memang mampu secara materi. Tapi faktanya secara pribadi, side effect yang ditimbulkan selalu saja membuat mereka kelimpungan.
Quote:
Sosialita itu ibarat candu narkoba. Jika diberhentikan secara tiba-tiba, seseorang bisa saja mengalami sakaw secara psikologis. Kita ambil salah satu contoh dari lingkar pertemanan pada ilustrasi di awal tadi. Semisal saja salah satu dari mereka tidak mengikuti meet-up selanjutnya, besar kemungkinan tipikal individu tadi akan menduga dirinya seketika mengalami sebuah krisis sosial.
Kekalutan mulai muncul, taraf sosialitanya terancam turun di mata teman-temannya. Belum lagi pengaruh sosial media yang selalu saja memperkeruh suasana. Setiap kali dia melihat update postingan teman-temannya, ia akan terus berpikir akan sebuah konten personal show-off untuk saat ini atau lain hari nanti, hanya demi menunjukkan bahwa dirinya masih ada dan patut mendapat perhatian juga.
Padahal jika mau melihat dari perspektif baru, bisa saja ia menemukan sebuah fakta dari kenyataan sosialita yang menjemukan. Buat apa ikutan gabung? Toh, nanti ujung-ujungnya pasti sibuk mikirin update sampai kaya orang bingung. Padahal yang dibutuhkan adalah suasana obrolan penuh setia kawan, bukan sebuah perlombaan pencapaian followers dan likes di Instagram.
Atau mungkin sekilas terlintas sebuah hidayah untuk skip beberapa waktu ke depan demi kepentingan menggembungkan angka tabungan untuk masa depan yang harus mulai dipersiapkan. Daripada … harus mati dibunuh gengsinya sendiri, yang pada akhirnya nanti disadari ternyata semua ini tidaklah penting. Tapi pemikiran seperti ini biasanya memang jarang hinggap di kepala kaum sosialita. Kebanyakan dari mereka selalu berfikiran simple, bahwasanya masih ada lain hari untuk memikirkan masalah pribadi.
Baca juga : Mengenal Kaum Miskin Urban: Anak-Anak Muda Yang Kere, Kelaparan, tapi Eksis
Quote:
Quote:Personal branding tidak selalu berarti rajin posting. Kebanyakan dari social media user sejatinya selalu ingin liar berimprovisasi pada satu feed (petak platform). Saking liarnya, sampai-sampai malah melenceng jauh dan melahirkan sebuah konsep baru.
Konsep baru ini kemudian mewabah menjadi virus yang penyebarannya bersifat sangat rapid. Mentransformasikan betapa indahnya momen kehidupan menjadi melulu soal ke-aku-an. Yang kemudian menjadi konsumsi mutlak sekaligus darurat kebutuhan akan derajat pengakuan.
Quote:
Saya pernah secara sengaja mengikuti transformasi digital salah satu teman. Dia adalah commoner (orang biasa) yang kemudian menyematkan gelar public figure setelah followers akunnya selesai ditop-up salah satu penyedia jasa tambah followers. Semenjak itulah kehidupannya terlihat berubah total.
Kegelisahan dalam tiap harinya sekarang selalu melulu tentang followersnya berkurang, pertemanan model follow back dan jumlah likesnya yang sedikit. Habitnya pun menjadi cukup unik untuk diamati tiap kali kita menghabiskan waktu dengan nongkrong diluar. Setiap menit dan setiap detik, dia selalu memeriksa smartphonenya untuk mengetahui jumlah likes yang didapat.
Bagi saya pribadi, "nge-check likes" thingy ini lumayan cukup epic. What do you expect? Memaksa audience untuk mengikuti your bunch of selfies dengan caption ala-ala quotation orang lain yang dirasa cocok dengan pemikiran dan suasana hati? Dalam hal ini, mustahil kita mampu memaksa orang lain untuk selalu suka dengan apa yang kita bagi; terlebih dengan konten yang bersifat narsisme pribadi.
Perlu diketahui bahwa teman saya tadi adalah pasangan muda yang baru saja menikah. Dan habit dia bermain sosial media masih terbawa ke dalam kehidupan rumah tangganya. Pernah disuatu malam ketika suaminya pulang dari kerja, teman saya ini masih sibuk dengan teman-temannya di rumah. Saling memamaparkan kamera satu sama lain dengan maksud membagikan keseruan ngumpul bareng malem ini kepada temannya yang lain.
Jika anda adalah pembaca pria di artikel ini, bagaimana perasaan kalian sebagai seorang suami yang spontan melihat ini setelah kepenatan bekerja seharian? Kejadian tadi tidak cuma terulang sekali. Bahkan sampai teman-temannya beranjak pulang pun, teman saya tadi masih konsisten memberikan live report kepada para followersnya; yang notabene tidak semuanya mengenal dia yang memang bukan siapa-siapa (beda ya kalo subjeknya memang public figure, kalau mereka memang butuh eksposure sebagai harga mati karena sudah menjadi tuntutan industrinya).
Tentunya habit tadi adalah imbas dari effort sosialitanya yang sudah bisa dibilang cukup maksimal. Kadang saya pribadi sering berfikir : Apa dia itu engga capek ya 24/7 begitu terus? Lalu semua itu untuk apa? Personal brandingnya mau ke arah mana? Dan sebagai seorang teman saya selalu menyayangkan berapa banyak waktu yang terus dia buang, mengingat sebenarnya dia adalah pribadi yang pintar dan bisa melakukan lebih dari ini.
Quote:Selalu ada konsekuensi di setiap kali kemunculan. Sesekali kita ingin terlihat fancy, maka jangan heran jika ada orang yang merasa iri dan dengki. Begitu pula tiap kali ingin berbagi informasi, maka bersiaplah akan ada orang yang merasa digurui. Seperti sudah disebutkan tadi, virus tentang fenomena ke-aku-an perlahan mulai menggiring perilaku penggunanya. Setiap orang merasa ingin dengan bangga berteriak : Ini adalah aku yang sangat teredukasi dan lihatlah segala kehebatanku ini!
Quote:Padahal sesederhananya sebuah momen kehidupan, tidak selamanya momen indah kebersamaan itu selalu harus dibagi. Terkadang beberapa momen malah terlihat lebih bermakna saat egois untuk dinikmati sendiri. Ini bukan sebuah pertanda akan ketidakmampuan diri atau bahkan materi. Akan tetapi memaknai betapa mahalnya sebuah privasi dan terus mengembangkan diri tanpa bayang-bayang pemikiran feedback dunia ketiga yang bernama sosial media.
Namun bagaimanapun juga, the way of life di sosial media memang sepenuhnya adalah kebebasan tiap manusianya. Tidak pernah ada aturan resmi yang secara kompeten mampu memutuskan benar atau salahnya sebuah konten. Tapi jika ini semua merupakan penggambaran dari fenomena dunia ketiga dan kita semua adalah bagian dari partisipan aktifnya, masih bisakah kita mendambakan sebuah suasana kehidupan dengan mindset keseharian yang kondusif?
Quote:Seorang waiter terlihat berdiri di salah satu meja untuk memastikan sekali lagi bahwa seluruh order pesanan pelanggan sudah selesai dia hantarkan semua.
"Terima kasih ya mas. Pesanannya sudah diantar semua kok sepertinya." Ujar salah satu pelanggan yang duduk persis di sampingnya. Mas-mas waiter tadi membalas ucapan pelanggan dengan senyuman dan bergegas pergi untuk melanjutkan pekerjaannya. Si pelanggan pun kembali menoleh ke arah mejanya.
Terlihat teman-temannya yang lain sedang asyik sendiri-sendiri mengambil gambar dari makanan yang mereka pesan dengan macam-macam angle ala food blogger. Kira-kira butuh waktu sekitar lima menit sampai akhirnya mereka semua merasa puas dengan hasil jepretan yang didapat.
Setelahnya, suasana masih terlihat hening. Masing-masing dari teman pelanggan tadi sekarang malah terlihat sangat serius memikirkan sesuatu. Sambil sesekali mereka menggumam ke satu sama lain : Menurut kamu, kalo captionku pakai ini bagus engga?
Diskusi soal pemilihan caption tadi sudah berlangsung sekitar sepuluh menit. Sampai akhirnya mereka semua menikmati pesanan makanan yang sepertinya sudah mulai turns cold. Beberapa wajah tampak terlihat gelisah sambil sesekali memeriksa notifikasi di layar smartphone, sekedar memastikan imaging dari postingan terakhir mereka sudah cukup authentic untuk dilihat.
Suasana restoran yang terkesan fancy itu pun kini perlahan mulai terasa abu-abu. Dari suasana sekitar yang awalnya cukup ramai hingga satu persatu pelanggan lain mulai berpergian, kondisi di meja pelanggan tadi tidak banyak berubah. Kalau boleh mengucapkan secara spontan, mungkin seseorang yang sudah mengamati mereka dari awal akan memberikan mereka julukan "Kawanan Minim Obrolan".
Duduk dengan formasi melingkar, kemudian menikmati makanan dengan tempo sesendok — istirahat — sesendok. Terlihat akrab dan tertawa sesaat lagi saat kamera disodorkan di hadapan mereka, dan kembali menjadi autis individualis lagi dengan dalih memaintenance orang lain yang sedang tidak bersama dengan mereka (re: followers). Suasana ini selamanya tidak akan mencair sebelum mereka menganggap engagement comments dan likes mereka sudah ada di kategori aman. Bahkan sampai pada akhirnya mereka nanti harus berpisah dan mengucap janji untuk meet-up lagi di kemudian hari, hampir bisa diprediksi malam-malam yang lain akan tetap berkronologi sama seperti malam ini.
Lantas apa yang sebenarnya didapat dari kegiatan ngumpul-ngumpul seperti ini?
Pembelaan yang paling pertama keluar, pasti akan terdengar mengerucut di salah satu perspektif, sedikit ofensif, dan tidak terlalu nyambung.
Quote:I afford all of this with my hardwork and the most important things is … I don't have any problem at all on spending!
Pembelaan yang paling pertama keluar, pasti akan terdengar mengerucut di salah satu perspektif, sedikit ofensif, dan tidak terlalu nyambung.
Quote:I afford all of this with my hardwork and the most important things is … I don't have any problem at all on spending!
Quote:Benar, statement di atas tidak salah. Bagaimana cara seseorang spending money itu akan selalu menjadi kebebasan tiap individu yang tidak bisa disalahkan. Tapi jika harus menimbang dengan realita yang didapat seperti ilustrasi di awal tadi, bohong jika setelahnya tidak ada perasaan agak menyesal yang mengganggu pikiran.
Tapi kebanyakan orang justru terus mengulanginya dan seolah tidak peduli apa yang akan didapat nantinya. Padahal pembelaan yang mengatasnamakan materi tadi sudah cukup lumayan untuk menutupi kegelisahan beberapa individu akan sebuah fenomena yang bernama sosialita. Bahwasanya mereka memang mampu secara materi. Tapi faktanya secara pribadi, side effect yang ditimbulkan selalu saja membuat mereka kelimpungan.
Quote:
Sosialita itu ibarat candu narkoba. Jika diberhentikan secara tiba-tiba, seseorang bisa saja mengalami sakaw secara psikologis. Kita ambil salah satu contoh dari lingkar pertemanan pada ilustrasi di awal tadi. Semisal saja salah satu dari mereka tidak mengikuti meet-up selanjutnya, besar kemungkinan tipikal individu tadi akan menduga dirinya seketika mengalami sebuah krisis sosial.
Kekalutan mulai muncul, taraf sosialitanya terancam turun di mata teman-temannya. Belum lagi pengaruh sosial media yang selalu saja memperkeruh suasana. Setiap kali dia melihat update postingan teman-temannya, ia akan terus berpikir akan sebuah konten personal show-off untuk saat ini atau lain hari nanti, hanya demi menunjukkan bahwa dirinya masih ada dan patut mendapat perhatian juga.
Padahal jika mau melihat dari perspektif baru, bisa saja ia menemukan sebuah fakta dari kenyataan sosialita yang menjemukan. Buat apa ikutan gabung? Toh, nanti ujung-ujungnya pasti sibuk mikirin update sampai kaya orang bingung. Padahal yang dibutuhkan adalah suasana obrolan penuh setia kawan, bukan sebuah perlombaan pencapaian followers dan likes di Instagram.
Atau mungkin sekilas terlintas sebuah hidayah untuk skip beberapa waktu ke depan demi kepentingan menggembungkan angka tabungan untuk masa depan yang harus mulai dipersiapkan. Daripada … harus mati dibunuh gengsinya sendiri, yang pada akhirnya nanti disadari ternyata semua ini tidaklah penting. Tapi pemikiran seperti ini biasanya memang jarang hinggap di kepala kaum sosialita. Kebanyakan dari mereka selalu berfikiran simple, bahwasanya masih ada lain hari untuk memikirkan masalah pribadi.
Baca juga : Mengenal Kaum Miskin Urban: Anak-Anak Muda Yang Kere, Kelaparan, tapi Eksis
"Sosialita dan sosial media sudah bagaikan saudara seperguruan yang berhasil menyita keseharian dan merubah pola pikir pengikutnya secara perlahan.
Mereka ibarat seorang nabi yang mengajarkan agama baru yang bernama eksistensi.
Menjanjikan surga adalah tempat dimana mereka akan diakui dan neraka adalah tempat dimana mereka merasa sendiri."
Mereka ibarat seorang nabi yang mengajarkan agama baru yang bernama eksistensi.
Menjanjikan surga adalah tempat dimana mereka akan diakui dan neraka adalah tempat dimana mereka merasa sendiri."
Quote:
Aku habiskan sebagian besar waktuku untuk aktif bermain di sosial media. Karena aku sadar, personal branding itu penting dan harus dibangun sedari sekarang.
Quote:Personal branding tidak selalu berarti rajin posting. Kebanyakan dari social media user sejatinya selalu ingin liar berimprovisasi pada satu feed (petak platform). Saking liarnya, sampai-sampai malah melenceng jauh dan melahirkan sebuah konsep baru.
Share your precious moments. If you don't have any of it, go frame yourself as hard as you can do; to be the precious one.
Konsep baru ini kemudian mewabah menjadi virus yang penyebarannya bersifat sangat rapid. Mentransformasikan betapa indahnya momen kehidupan menjadi melulu soal ke-aku-an. Yang kemudian menjadi konsumsi mutlak sekaligus darurat kebutuhan akan derajat pengakuan.
Quote:
Saya pernah secara sengaja mengikuti transformasi digital salah satu teman. Dia adalah commoner (orang biasa) yang kemudian menyematkan gelar public figure setelah followers akunnya selesai ditop-up salah satu penyedia jasa tambah followers. Semenjak itulah kehidupannya terlihat berubah total.
Kegelisahan dalam tiap harinya sekarang selalu melulu tentang followersnya berkurang, pertemanan model follow back dan jumlah likesnya yang sedikit. Habitnya pun menjadi cukup unik untuk diamati tiap kali kita menghabiskan waktu dengan nongkrong diluar. Setiap menit dan setiap detik, dia selalu memeriksa smartphonenya untuk mengetahui jumlah likes yang didapat.
Bagi saya pribadi, "nge-check likes" thingy ini lumayan cukup epic. What do you expect? Memaksa audience untuk mengikuti your bunch of selfies dengan caption ala-ala quotation orang lain yang dirasa cocok dengan pemikiran dan suasana hati? Dalam hal ini, mustahil kita mampu memaksa orang lain untuk selalu suka dengan apa yang kita bagi; terlebih dengan konten yang bersifat narsisme pribadi.
Perlu diketahui bahwa teman saya tadi adalah pasangan muda yang baru saja menikah. Dan habit dia bermain sosial media masih terbawa ke dalam kehidupan rumah tangganya. Pernah disuatu malam ketika suaminya pulang dari kerja, teman saya ini masih sibuk dengan teman-temannya di rumah. Saling memamaparkan kamera satu sama lain dengan maksud membagikan keseruan ngumpul bareng malem ini kepada temannya yang lain.
Jika anda adalah pembaca pria di artikel ini, bagaimana perasaan kalian sebagai seorang suami yang spontan melihat ini setelah kepenatan bekerja seharian? Kejadian tadi tidak cuma terulang sekali. Bahkan sampai teman-temannya beranjak pulang pun, teman saya tadi masih konsisten memberikan live report kepada para followersnya; yang notabene tidak semuanya mengenal dia yang memang bukan siapa-siapa (beda ya kalo subjeknya memang public figure, kalau mereka memang butuh eksposure sebagai harga mati karena sudah menjadi tuntutan industrinya).
Tentunya habit tadi adalah imbas dari effort sosialitanya yang sudah bisa dibilang cukup maksimal. Kadang saya pribadi sering berfikir : Apa dia itu engga capek ya 24/7 begitu terus? Lalu semua itu untuk apa? Personal brandingnya mau ke arah mana? Dan sebagai seorang teman saya selalu menyayangkan berapa banyak waktu yang terus dia buang, mengingat sebenarnya dia adalah pribadi yang pintar dan bisa melakukan lebih dari ini.
Quote:Selalu ada konsekuensi di setiap kali kemunculan. Sesekali kita ingin terlihat fancy, maka jangan heran jika ada orang yang merasa iri dan dengki. Begitu pula tiap kali ingin berbagi informasi, maka bersiaplah akan ada orang yang merasa digurui. Seperti sudah disebutkan tadi, virus tentang fenomena ke-aku-an perlahan mulai menggiring perilaku penggunanya. Setiap orang merasa ingin dengan bangga berteriak : Ini adalah aku yang sangat teredukasi dan lihatlah segala kehebatanku ini!
Quote:Padahal sesederhananya sebuah momen kehidupan, tidak selamanya momen indah kebersamaan itu selalu harus dibagi. Terkadang beberapa momen malah terlihat lebih bermakna saat egois untuk dinikmati sendiri. Ini bukan sebuah pertanda akan ketidakmampuan diri atau bahkan materi. Akan tetapi memaknai betapa mahalnya sebuah privasi dan terus mengembangkan diri tanpa bayang-bayang pemikiran feedback dunia ketiga yang bernama sosial media.
Namun bagaimanapun juga, the way of life di sosial media memang sepenuhnya adalah kebebasan tiap manusianya. Tidak pernah ada aturan resmi yang secara kompeten mampu memutuskan benar atau salahnya sebuah konten. Tapi jika ini semua merupakan penggambaran dari fenomena dunia ketiga dan kita semua adalah bagian dari partisipan aktifnya, masih bisakah kita mendambakan sebuah suasana kehidupan dengan mindset keseharian yang kondusif?
Terima kasih sudah sempatkan baca. Jangan lupa bagikan jika dirasa berguna
No comments:
Write comments