Ketika pertama kali mendengar dampak buruk dari kurang piknik, saya cuma tersenyum dan menganggap itu hanya info sesat dari marketing biro perjalanan. Memang piknik gak butuh biaya? Bagaimana jika memaksakan tapi selesai piknik malah kantong jebol? Bukannya semakin sehat, justru bersiap dengan munculnya problem lain.
Begitu pembelaan diri saya. Alhasil, saya hanya piknik jika ada acara gathering dari kantor. Sudahlah gratis, gak pake repot. Ya, manusia memang gemar yang gratis-gratis. Coba perhatikan dimana ada pembagian nasi bungkus atau nasi kotak gratis, dijamin ramai. Bener gak Jon?
Penasaran dengan efek dari kurang piknik, saya iseng mencari artikel-artikel yang memiliki korelasi perihal piknik-perpiknikan. Sampai akhirnya, pencarian saya tak sia-sia. Saya mendapatkan sebuah tulisan menarik, dan tentu sangat obyektif. Karena substansinya tidak terindikasi berafiliasi ke partai Allah, maupun setan. Netral Mbah!
Dijelaskan, bahwa akibat kurang piknik serta kurang beraktivitas fisik dapat meningkatkan risiko terjadinya masalah mental atau kejiwaan, depresi, obesitas, dan penurunan fungsi kognitif otak.
Jelas, uraian tersebut seakan menampar saya dengan keras. Selama ini, akibat menyepelekan rekreasi alias piknik, dan sibuk dengan rutinitas, membuat daya pikir otak saya menurun, jika tak mau disebut bebal.
Padahal, dari artikel yang saya baca barusan, piknik itu tak harus pergi jauh ke Monas. Karena jarak dari Jogja ke Jakarta itu jauh. Butuh waktu berjam-jam jika ditempuh dengan kereta api. Alih-alih harus jalan kaki dari Jogja ke Jakarta. Kezel bro. Saya serius. Coba aja tanya yang sudah pernah melakukannya kalau situ ndak percaya sama saya.
Kegiatan piknik atau rekreasi bisa dilakukan dengan cara sederhana. Seperti aku yang ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Walah, kok sampai kesana? (akibat kurang piknik mode on).
Jadi, piknik itu bisa dimulai dengan cara berjalan santai ditaman kota, berolahraga ringan. Atau jika ingin menikmati pemandangan baru, mungkin bisa mencoba mengunjungi puncak Selo di Boyolali. Lagian, jaraknya gak jauh-jauh amat.
Berdasarkan studi yang dipublikasikan Curtin University, Australia, olahraga dan rekreasi mampu menurunkan stres psikologis sebesar 34 persen apabila dilakukan 1-3 kali seminggu, dan 46 persen bila dilakukan lebih dari empat kali dalam seminggu. Orang yang rutin melakukan rekreasi dan olahraga terbukti mampu menjalani hidup dengan rileks dan lebih sehat.
So, berdasarkan ulasan ini, sempatkan untuk melakukan piknik, perbanyak aktifitas fisik, dan mulailah pola hidup sehat agar selain fisik yang kuat, kondisi otak dan psikis juga menjadi lebih baik. Gak gampang meleduk.
***
Lahirnya Undang-undang MD3 dan telah berlaku, meski Presiden tidak membubuhkan tandatangannya, semakin menambah derita saya secara lahir dan batin.
Setelah di diagnosis bahwa jiwa saya terindikasi kurang piknik, itu sebabnya saya lekas marah, maka dengan adanya UU MD3 secara otomatis menimbulkan persoalan baru lagi dalam hidup saya sebagai rakyat jelata. Apa pasal?
Seperti yang kita ketahui, adanya UU MD3 memberikan hak imunitas kepada segenap anggota DPR. Selain imunitas, mereka juga bisa memproses tindakan yang dianggap melakukan "penghinaan" kepada mereka. Baik secara institusi, konon lagi secara person. Sedangkan diksi penghinaan, menjadi salah satu rumusan yang kadang karet-able. Tergantung penafsiran dari mahzab siapa dan dari golongan apa. Batasan antara kritik dan penghinaan juga setipis kulit ari. Dan itu artinya saya bakalan kehilangan rasa humor terhadap segenap anggota dewan yang terhormat.
Misal, melihat sepinya anggota dewan pada tiap sidang paripurna, tampaknya tak bisa lagi dijadikan humor satire. Karena bisa saja mereka ndak terima, lantas dianggap sebagai penghinaan. Repot kan? Padahal, melihat ruangan yang melompong itu membuat rakyat proletariat dan termarjinalkan seperti saya, bisa menasehati anaknya supaya tidak malas berangkat sekolah. Kasihan gurunya jika kelas menjadi kosong karena anak didiknya terkena sindrom anggota dewan.
Demikian pula, entah kapan lagi bisa menanamkan nilai-nilai moral kepada generasi zaman now, supaya tidak meniru perbuatan salah satu anggota dewan yang dulu pernah tertangkap sedang menikmati film dewasa ketika berada diruangan sejuk dengan kursi empuk. Sebab, terlalu sering melihat adegan syur tersebut, dapat mengakibatkan rusaknya sel-sel dalam jaringan otak. Saya kehilangan figur sebagai pembanding yang nanti bisa saya ceritakan ke anak saya kelak.
Atau menikmati kocaknya komentar duo F, yakni Fahri Hamzah dan Fadli Zon (tanpa "k"), sahabat karib yang kedekatan emosionalnya melebihi anak kembar identik. Selalu memiliki perspektif yang sama.
Sebagai misal, ketika mereka saling serang antara dua kubu terkait idola Fadli Zon tuan Putin. Bagi yang diluar komunitas Om Zon, tentu berdalih bahwa Putin, seorang Presiden dari negara Rusia ini, nggak cocok jadi pemimpin di Indonesia. Karena banyak aspek yang membedakan, baik sosial, budaya, politik, cara pandang dan lain sebagainya, antara Indonesia dengan di negeri beruang merah tersebut.
Sedangkan yang pro Om Zon, hanya mengistilahkan saja. Bahwa ada sifat-sifat Putin yang harus ditiru dan diterapkan sebagai pemimpin. Terlihat sangar dan tegas, serta jauh dari kesan planga plongo. Tegas.
Ya kita butuh pemimpin tegas. Apa sih definisi tegas? Yakin masyarakat Indonesia yang sering baper membutuhkan figur pemimpin seperti itu? Tegas dan galak hanya beda sepersekian detik lho Zon? (Ndak pake "o").
Membahas isu tentang Putin ternyata jauh lebih seksi dan menjual ketimbang mengangkat kisah penderitaan siswa SD di Maros yang harus menyabung nyawa demi bisa bersekolah. Sebab, jembatan di Sulawesi Selatan ini ambruk dan sudah mangkrak bertahun-tahun.
Lho? Itu kan tugas Pemda bray?
Apakah membahas topik yang gak penting seperti perang komentar antara elit politik lebih manusiawi?
Lagi, saya beri contoh ketika anggaran belum cair dari pemerintah, Fahri Hamzah mendoakan agar gedung Nusantara I DPR roboh. Karena kata beliau ini, seretnya pencairan sebesar Rp. 601 miliar mengindikasikan pemerintah tidak serius. Menurutnya, sudah seharusnya pemerintah mencairkan anggaran pembangunan gedung baru. Gedung DPR bukan untuk anggota DPR, tapi kepentingan bangsa dan demokrasi.
Sontak mendengar pernyataan Fahri, tempe goreng yang masih baru diangkat dari penggorengan tersangkut ditenggorokan dan membuat saya tersedak gegara buru-buru meng"amini" pernyataan Fahri supaya gedung DPR ambuk. Eh...!?
Melihat, membaca serta menelaah tingkah laku para anggota dewan adalah kesenangan lahir batin dalam diri saya. Selain, tentu saja, saya sudah muak dengan acara sinetron sampah yang sering nongol dilayar kaca. Parahnya, sinetron unfaedah ini banyak muncul pada moment prime time. Kemanakah gerangan KPI? Apa benar, dengan meminjam istilah Rocky Gerung, KPI "dungu"? Ya ndak tahu...!
Nah, itu baru secuil saja dari kisah humor di negeri ini yang ketap dipertontonkan oleh anggota dewan. Seperti biasa, saya tertawa terbahak-bahak. Sebab, kelucuan yang mereka buat itu natural sekali. Kapan lagi menikmati ocehan-ocehan mereka di dunia maya maupun di dunia realita. Itu sebabnya, saran saya bagi pembaca kaskus dimari, lupakan semua film-film atau sinetron dengan genre humor. Semua kalah lucu dengan badut-badut yang duduk manis disenayan.
Sik Jon, kok mereka pada aktif ngetwit ya? Saling berbalas komentar? Apa kerjaannya udah kelar?
Sayangnya, kini saya tak bisa lagi menjadikan mereka sebagai bahan tulisan. Sebab, jika terindikasi penghinaan, tak hanya membuat saya pensiun dini dari kaskus, tapi perusahaan tempat saya mengais rezeki saat ini pun bakalan "memulangkan" saya.
Sepertinya saya memang harus diam. Tak lagi bisa tertawa. Karena penderitaan yang saya alami telah sempurna mendera. Sudahlah jarang piknik, saya juga kehilangan humor dari anggota dewan yang terhormat gegara UU MD3.
Diam, dan mungkin menjadi bisu setelah suara saya diperkosa untuk hajatan bernama pemilu.
©Skydavee
Sumber gambar: google
Referensi: Akibat Buruk Kurang Piknik
No comments:
Write comments