Belakangan ini, masyarakat kerap kali dikejutkan dengan berita mengenai jatuhnya benda buatan manusia ke bumi. Setelah Tiangong-1 yang jatuh di Samudra Pasifik selatan pada Senin (2/4/2018), giliran roket India yang masuk dan terbakar di atmosfer Samudra Atlantik tengah pada Selasa (3/4/2018).
Namun, sebetulnya kita tidak perlu kaget-kaget dengan kembalinya benda buatan manusia ke bumi.
Laporan Solar Dynamic Observatory milik Badan Antariksa AS ( NASA) menunjukkan bahwa sekitar 100 ton sampah antariksa terbakar di atmosfer setiap tahun. Sampah-sampah ini berupa satelit yang sudah tidak digunakan, wahana antariksa yang tidak terkontrol seperti Tiangong-1, atau bagian atas dari roket.
Mayoritas berupa potongan kecil yang langsung terbakar, sedangkan yang lebih besar bisa mencapai bumi. Secara rata-rata, sampah antariksa besar sampai ke bumi 50 kali dalam setahun. Indonesia sendiri sudah cukup sering kejatuhan sampah antariksa.
Perhitungan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) hingga 27 Januari 2009 menunjukkan bahwa Indonesia sudah 7.789 kali kejatuhan serpihan sampah antariksa yang berukuran di atas 10 sentimeter, 3.388 kali untuk satelit, dan 1.820 kali untuk badan roket.
Untungnya, bumi dan tanah air kita mayoritas permukaannya berupa air sehingga sampah-sampah ini kebanyakan jatuh di lautan atau tempat terpencil.
"Banyak yang jatuh di laut, di hutan, mungkin bagi daerah yang punya gurun jatuh di gurun," kata Thomas Djamaluddin, seperti dikutip oleh Kompas.com sebelumnya.
Jumlahnya Banyak, Efeknya Berbahaya
Sampah antariksa punya banyak istilah asing, antara lain "space debris," "space junk," "space waste," "space trash," atau "space litter." Definisinya meliputi obyek buatan manusia yang tak lagi berfungsi dan melayang dibiarkan begitu saja di bagian atmosfer terluar. Bentuknya macam-macam. Mulai dari bekas satelit, bekas bagian roket, serpihan bekas tubrukan antar sampah antariksa, dan lain sebagainya.
Dalam diskusi Three Minuters of Darkness Over Indonesia di @America, Jakarta, Jumat (26/2/2016), Asisten Sekretaris Biro Pengendalian Senjata, Verifikasi, dan Kepatuhan Amerika Serikat Frank A. Rose menyebutkan bahwa sikat gigi bekas juga ada di antariksa. Kesemuanya berotasi mengelilingi bumi bersama satelit yang masih aktif hingga stasiun ruang angkasa.
Jumlah sampah luar angkasa berbeda-beda menurut temuan masing-masing lembaga. Versi yang ditangkap radar milik Pusat Gabungan Operasi Antariksa menyebut kini ada lebih dari 100.523.000 sampah antariksa. 23.000 di antaranya seukuran bola tenis atau lebih besar dari 10 cm, 500.000 lain berukuran lebih dari 5 cm, dan sisa 100.000.000-nya berukuran antara 1 mm-5 cm.
Sumbernya macam-macam. Contohnya terjadi pada 2007 saat Cina menguji coba satelit dan menghasilkan 3.000 fragmen berukuran di atas 10 cm yang diperkirakan akan ada di luar angkasa untuk selama ratusan tahun. Sementara pada 2009, lanjut Rose, kejadian signifikan terjadi di ruang hampa udara saat satelit Rusia, Iridium 33, hancur tertabrak sesama satelit Rusia lain, Cosmos 2251, yang sudah tidak aktif.
"Sampah antariksa ini jelas akan menjadi ancaman bagi sistem keantariksaan banyak negara, bahkan beberapa tahun terakhir ratusan kejadian di mana sampah antariksa hasil uji coba pada 2000 sudah semakin mendekati satelit-satelit mereka sendiri," ujar Rose sebagaimana dikutip dari Antara.
Satelit-satelit itu punya banyak fungsi, mulai dari sistem peringatan dini bencana, fasilitas navigasi untuk transportasi, akses global untuk keuangan atau perbankan, dan berbagai kegiatan penting lain di bumi. Hangatnya isu ini sejak satu dekade belakangan pun menimbulkan tanya: usaha penanggulangan seperti apa yang sedang kita jalankan?
Rencana Banyak, Realisasi Tak Jelas
Astrofisikawan Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA), Donald Kessler, pernah berkata bahwa industri antariksa secara perlahan mengembangkan ide untuk membersihkan sampah antariksa, tapi sayangnya belum ada yang diuji secara serius apalagi sampai menunjukkan hasil nyata. Ia menegaskan bahwa ada tiga isu utama yang harus diselesaikan berkaitan dengan pembersihan sampah antariksa.
"Satu, bagaimana kita bisa mendapatkan sampah itu secara murah? Dua, bagaimana kami mengambil obyek yang berputar dan tidak dirancang untuk bisa diambil? Ketiga, apa yang akan dilakukan setelah kita mengambilnya?" ujar mantan kepala program penanganan sampah antariksa pertama di NASA itu kepada Xinhua.
Fakta lain yang juga menjadi pertimbangan adalah lambannya astrofisikawan dan ilmuwan membahas persoalan itu. Penyebabnya: tidak setiap tahun NASA bisa menggunakan dana dari pemerintah untuk melakukan penelitian dan melakukan pembersihan sampah antariksa. Program pembersihan orbit bumi pada akhirnya lebih banyak diserahkan pada perusahaan riset lain yang punya strategi sendiri-sendiri.
Pertama, menggunakan jaring raksasa. Empat tahun lalu, salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pembersihan sampah antariksa, Star Technology and Reseach (STAR), menerima hampir dua juta dolar AS dari NASA untuk membuat pesawat luar angkasa ElctroDynamic Debris Eliminator (EDDE) yang akan bekerja membersihkan sampah antariksa dengan memanfaatkan jaring raksasa.
EDDE didesain untuk mengarungi orbit bumi di mana satelit yang tak terpakai lagi berada. Dengan menggunakan tenaga surya, EDDE mengeluarkan jaring besar untuk menangkap obyek tersebut dan diturunkan ke orbit yang lebih rendah. EDDE kemudian menyemburkan satelit atmosfer bumi sehingga terbakar dan kemudian berlayar lagi ke orbit yang lebih tinggi untuk menangkap satelit selanjutnya yang sudah jadi sampah.
Kedua, memakai robot. Sampah dengan ukuran yang lebih besar menjadi tanggung jawab e.Deorbit, alat bikinan European Space Agency (ESA) yang rencananya akan diluncurkan pada tahun 2023. e.Deorbit, sebagaimana dilaporkan kanal Space, masuk dalam program Clean Space Initiative ESA dan ditargetkan untuk menyeret "pulang" ENVISAT, satelit pemantauan jarak jauh seberat 8 ton yang diluncurkan pada tahun 2002.
Rencananya e.Deorbit akan "menempelkan" diri ke unit-unit sampah luar angkasa, kemungkinan dengan menggunakan tangan-tangan robotik yang dipasang di satelit e.Deorbit. Setelah obyek sasaran berhasil diamankan, e.Deorbit akan menggunakan roket pendorong ke atmosfer bumi agar obyek sasaran terbakar habis di sana.
Rencana ketiga datang dari Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) akan melibatkan medan magnet dari bumi sendiri agar sampah berbentuk satelit turun sendiri. Realisasinya akan melibatkan kargo bernama Kounatori 6 dalam proyek Kounatori Integrated Tether Experiment. Sayang, rencana ini menemui kegagalan saat peluncuran kargonya pada Februari kemarin.
Strategi lain sebagai alternatif pembersih sampah antariksa berukuran kecil datang dari perusahaan startup asal Jepang Astroscale. Mereka berencana akan meluncurkan satelit ELSA-1 pada tahun 2018 yang akan melacak serpihan sampah antariksa lalu ditempelkan ke lem khusus agar bisa terkumpul.
Agar aman, keempat misi di atas diinstruksikan untuk mengarahkan satelit yang jatuh ke sebuah "kuburan" di wilayah Samudera Pasifik bagian selatan atau sebelah timur Selandia Baru, demikian menurut laporan The Verge.
No comments:
Write comments